Sejak marak isu akan terjadinya pemanasan global, yang sangat signifikan dapat mempengaruhi iklim dan cuaca serta efek yang ditimbulkan terhadap kehidupan mahluk hidup, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) menggagas dan selanjutnya menerbitkan kebijakan dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres) No. 24 Th. 2008 tentang Hari Menaman Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Secara Nasional. Kebijakan Presiden ini merupakan salah satu wujud kepedulian Indonesia terhadap peningkatan volume oksigen (O2), sebagai kebutuhan bagi kehidupan kesehatan manusia dan mahluk hidup, dengan harapan O2 selalu bertambah dan bebas dari polusi.
Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah yang menjadi paru-paru dunia, kelestarian alam dan penghijauan daerah Kalimantan merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk juga kebijakan Pemprov dalam mendukung program nasional yang berkomitmen menurunkan emisi 26% dalam upaya antisipasi pemanasan global, seperti yang telah di ucapkan oleh presiden dalam pertemuan G20 lalu.
Upaya Pembangunan Areal Pembibitan Pohon Modern (UPAPPM) Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, yang salah satunya berlokasi di kilometer 71 Jl. Samarinda – Balikpapan, merupakan proyek pengadaan persediaan berbagai jenis bibit pohon dalam rangka mendukung program Nasional yang dicanangkan oleh Presiden SBY, dan sekaligus merupakan bagian penting program Kaltim Green yang dicanangkan oleh Gubernur Kaltim H. Awang Faroek Ishak pada tahun 2009.
Program Kaltim Green merupakan upaya menyelamatkan lingkungan Kaltim, yang sekaligus membantu mengurangi pemanasan global dunia sebagai akibat efek rumah kaca. Kaltim Green mewajibkan kepada setiap penduduk Kaltim menanam lima pohon penghijauan dalam setahun atau “one man five trees”, sehingga Kaltim yang berpenduduk 3,5 jiwa ini diharapkan bisa menanam minimal 17,5 juta pohon per tahun. Dengan Kaltim Green, pemerintah daerah berupaya mewujudkan Green Governance yaitu tata kelola pemerintahan yang berwawasan lingkungan, dan Green Development yaitu pembangunan dengan memperhatikan lingkungan. Komitmen tersebut membuat Kaltim mendapatkan penghargaan "Indonesian Green Award" kategori "Best Indonesian Green Province" jenis Silver pada Konferensi Indonesia Hijau Agustus 2010 lalu. Gaung program Kaltim Green yang digalakkan Pemprov Kaltim tidak hanya menjadi perbincangan di tingkat nasional, melainkan terdengar sampai ke Republik Ekuador di Amerika Selatan.
Sementara itu, Presiden SBY pada tanggal 5 Januari 2012 lalu, telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan. Dalam Perpres ini, presiden menegaskan bahwa, pulau Kalimantan ditujukan untuk kelestarian kawasan konservasi keanekaragaman hayati, dan kawasan berfungsi lindung, yang bervegetasi hutan tropis basah paling sedikt 45% dari luas Pulau Kalimantan sebagai paru-paru dunia. Selain menyisakan hutan, presiden juga ingin membuat Kalimantan sebagai basis lumbung energi nasional khususnya listrik, tambang mineral dan batubara, serta migas. Perpres No. 3 Tahun 2012 tersebut juga mengatur tentang penetapan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) industri hilir pengolahan hasil pertambangan mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi di Balikpapan, Tenggarong, Samarinda, Bontang dan Tarakan, dan pusat industri pengolahan hasil pertambangan mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi di Muara Teweh, Tanjung Redeb, Sangatta, Nunukan, Tanjung Selor, Malinau, dan Tanah Grogot.
Sebelumnya, Pada HUT Provinsi Kaltim ke-55 tanggal 9 Januari 2011 di Hotel Madya Sempaja Samarinda, Gubernur mengatakan program Kaltim Green sampai kapanpun tidak akan mampu berjalan maksimal jika tidak didukung semua pihak termasuk di dalamnya menertibkan pertambangan batu bara. Di Kaltim khususnya di Kota Samarinda yang merupakan ibu kota provinsi, masih terdapat banyak perusahaan pertambangan yang dalam pelaksanaan kegiatannya kurang memperhatikan lingkungan disekitarnya, padahal pemerintah telah menetapkan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan tambang, yaitu UU No.14 Th. 2009 dan PP No. 22 dan 23 Th. 2010 yang mengatur masalah izin pertambangan.
Sesuai peraturan dalam pemberian izin pengelolaan tambang, rencana proyek pertambangan terlebih dahulu harus melalui beberapa rekomendasi dari sejumlah instansi terkait, seperti harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pertimbangan masalah sosialnya, dan harus melalui kajian tehnis, namun sampai saat ini pelaksanaan peraturan tersebut hanya berjalan secara normatif, sedangkan praktik dilapangan belum bisa berjalan sebagaimana mestinya karena beberapa hal, diantaranya karena kurangnya koordinasi antara pemberi izin yaitu masing-masing Kepala Daerah dengan Dinas Pertambangan dan Energi. Berdasarkan Peraturan Menhut No. P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, rasio reklamasi yang harus dilakukan oleh perusahaan tambang adalah 1:2 untuk komersial ditambah dengan luas rencana areal terganggu, namun sampai saat ini masih terdapat beberapa perusahaan yang tidak melakukan reklamasi sesuai ketentuan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, tampak adanya kesenjangan dan ketidak selarasan antara program nasional yang menjadikan “Kalimantan Sebagai Lumbung Energi Nasional” dengan program “Kaltim Green” yang dicanangkan oleh pemprov. Di satu sisi, pemerintah daerah berupaya mendukung program pengurangan emisi sebagai bentuk kepedulian terhadap global warming yang sedang gencar di bahas dalam lingkup internasional, namun disisi lain adanya kebijakan menjadikan Kalimantan sebagai lumbung energi nasional, dalam pelaksanaannya malah saling bertolak belakang, mengingat pertambangan batubara merupakan salah satu penyumbang terbesar kenaikan emisi di Kaltim selain asap kendaraan bermotor, aktifitas agraria, dan limbah rumah tangga. Belum lagi persoalan reklamasi kawasan bekas tambang yang secara jelas merupakan bentuk pengrusakan lingkungan secara terang-terangan.
Kedua program pemerintah yang telah dibuat dengan tujuan positif bagi bangsa Indonesia tersebut, sebenarnya dapat berjalan secara berdampingan tanpa saling bertolak belakang, jika peraturan-peraturan yang telah dibuat dapat dilaksanakan dengan baik oleh masing-masing pihak terkait. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pemberian ijin pertambangan. Di Kaltim sendiri khususnya di Samarinda yang merupakan ibukota provinsi, pemberian ijin tambang terlihat asal-asalan tanpa mempertimbangkan dan mengkaji secara hati-hati, seperti pelaksanaan AMDAL, pertimbangan masalah sosial, pertimbangan tata ruang kota, dan pengkajian tehnisnya. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen bersama dalam menangani masalah ini, yang pertama adalah komitmen oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk lebih serius dalam melaksanakan peraturan-peraturan yang telah dibuat. Kemudian, peran aktif masyarakat dan para akademisi, serta LSM-LSM setempat juga perlu untuk mendukung dan mengawasi pelaksanaan program pemerintah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H