Mohon tunggu...
Yermia Riezky
Yermia Riezky Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis dan fotografer lepas berdomisili di Makassar.

www.kreatifmenulis.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bagaimana Bill Cunningham Mengajari Saya Soal Independensi

29 Juni 2016   14:49 Diperbarui: 29 Juni 2016   18:57 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bill Cunningham (Flickr Creative Common 2.0 / EventPhotosNYC)

Satu cerita dalam dokumenter Bill Cunningham New York adalah ketika salah poncho yang ia kenakan saat hujan sobek. Alih-alih membeli poncho baru, ia malah mengambil lakban dan merekatkan bagian yang sobek dengan lakban. Cerita lain adalah kegemarannya sarapan burger plus kopi yang total harganya hanya tiga dollar di dekat kantornya.

Dari semua itu, yang paling saya kagumi adalah semangat independensinya yang sangat tinggi. Meski ia tak melabeli dirinya sebagai pewarta foto, Cunningham selalu menjaga jarak dengan subyek yang ia foto. Barangkali secara tak tertulis prinsip Cunningham seperti ini: "Saya dapat fotomu, dan kamu terkenal karena muncul di The New York Times."

Ia menerapkan itu terutama dalam acara-acara gala, amal, dan makan malam. Setelah Cunningham memotret orang-orang kaya New York, ia langsung pamit dari acara itu untuk pulang ke apartemennya, atau ke makan malam lainnya.

Cunningham menolak bahkan untuk duduk makan dan minum dalam acara itu. Dalam dokumenter New York, ia mengatakan dirinya ingin menjaga independensinya dan tidak ingin bergantung pada orang lain.

Sebagai bekas wartawan, saya sangat kagum dengan sikap seperti itu karena, sebagai wartawan kami sering aji mumpung dengan menikmati fasilitas-fasilitas dalam sebuah acara. Karena keuangan saya hanya cukup untuk makan di warteg arau pujasera, acara yang berlangsung di hotel atau restoran merupakan tempat untuk merasakan makanan-makanan yang lebih mewah.

Itu baru makanan. Hal lain seperti tiket pesawat yang disediakan oleh panitia, kamar di hotel berbintang, hiburan malam plus-plus, hingga uang transport yang terkadang ditoleransi oleh wartawan dan penerbitnya.

Sikap Cunningham membuat saya malu sebagai wartawan (saat itu). Memang Bill memilih untuk tidak menikah atau menjalin hubungan khusus (di dokumenter, ia juga menegaskan dirinya bukan gay). Namun, ia mencukupkan dirinya dengan apa yang menjadi haknya dan berusaha tidak bergantung pada orang-orang di luar tempat ia bekerja.

Cunningham mengaku tidak terlalu memikirkan soal uang. Itu dibenarkan oleh mantan editor majalah tempat ia bekerja sebelum The Times. Menurut editor itu, ia sampai menelepon dan memarahi Bill karena tak pernah mengambil cek bayarannya selama berbulan-bulan sedangkan Bill tetap memotret dan memasukkan fotonya ke majalah itu.

Tak gampang untuk memegang prinsip independen seperti Cunningham di tengah tuntutan dan godaan materi saat ini. Saat saya jadi wartawan, selain masalah aji mumpung, ada perasaan tidak ingin mengecewakan tuan rumah yang sudah menyiapkan jamuan untuk para wartawan.

Di mata saya, Cunningham memanfaatkan betul wibawa dan ketenarannya sebagai fotografer senior yang disegani agar tetap menghidupi prinsipnya. Barangkali, subyek fotonya tak ingin kehilangan kesempatan masuk dalam kolom mingguan Bill Cunningham On The Street di The TImes. Mungkin, ia juga sudah khatam menguasai seni menolak.

Kepergian Bill Cunningham merupakan kesedihan kedua saya dalam fotografi di semester pertama 2016. Sebelumnya, fotografer favorit saya lainnya, Peter Marlow pergi untuk selamanya setelah berjuang melawan kanker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun