Mohon tunggu...
HADI PURWADI
HADI PURWADI Mohon Tunggu... -

saya bukan siapa-siapa -- sebutir debu di alam semesta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sepiring Singkong Goreng

27 Maret 2012   11:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:24 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jujur. Sebagai manusia fana yang mulai menua, kadang saya gelisah -- bagaimana harus menggumuli kehidupan yang terus menggelinding ini?

"Dunia ini hambar, dingin & gelap,"  kata seorang kawan. “Maka jadilah garam dan terang dunia!”

Saya manggut-manggut mendengarnya, seperti burung perkutut kelelegen kroto. “Coba bayangkan bagaimana rasanya makan sayur tanpa garam ? “ katanya lagi memberi perumpamaan. “Sama sekali tidak enak.Begitu pula berjalan dalam kegelapan, selain “tidak enak” juga berbahaya.”

Saya berpikir, betul juga orang ini. Meskipun rambutnya keriting dan kulitnya hitam legam tapi ternyata hatinya putih & pikirannya “lurus”. Saya pernah mencicipi soto ayam yang lupa digarami. Rasanya memang aneh. Hambar. Sayapun pernah mengalami bagaimana sulit dan berbahayanya mendaki bukit menyusuri jalan setapak berbatu-batu ditemani kunang-kunang.

Kawan saya yang lain tiba-tiba datang. Si Jenggot. Begitu kami biasa memanggilnya. Ia terkekeh-kekeh mendengar obrolan kami.

“Kalian ini aneh,” katanya, sambil mengelus jenggotnya yang mulai semrawut. “Betul sekali sayur tanpa garam itu hambar rasanya, tapi percayalah makan sayur tanpa garam itu masih jauh lebih nikmat ketimbang makan sayur kebanyakan garam. Selain terlalu asin, kebanyakan garam juga tidak baik untuk kesehatan -- dapat memicu darah tinggi dan disfungsi ginjal.”

Si Jenggot lalu menjelaskan panjang lebar bagaimana pengalamannya makan sayur keasinan bikinan isterinya. Ia juga menambahkan bahwa cahaya yang terlalu terang akan menyilaukan mata dan dapat membahayakan orang lain. (Suatu ketika ia pernah hampir celaka di jalan Tol gara-gara lampu mobil dari arah berlawanan yang sangat terang menelan cahaya lampu mobil tuanya yang hanya sedikit lebih terang dari nyala lilin. Karena silau, matanya buta sesaat dan hampir menabrak beton pembatas jalan.)

“Lebih baik menjadi prajurit Tuhan,” kata si Jenggot lagi. Saya melongo seperti kerbau. “Kita berperang membela kemuliaan Tuhan.”

“Bagaimana caranya?”

“Yah seperti di film-film itulah. Kita akan bekerja seperti James Bond atau mission imposible. Meledakkan bom dan menghancurkan musuh-musuh Tuhan.”

“Wah kita mati juga dong...”

“Mati tapi hidup bahagia di surga. Dan ingat bonusnya: 30 bidadari yang cantik molek.”

Saya melongo seperti kerbau dungu.

“Bagaimana? Tertarik?”

Jujur. Sebagai manusia fana yang – meskipun -- sudah mulai menua saya masih tergiur dengan 30 bidadari yang cantik molek itu. Tetapi saya ragu. Membela Tuhan dengan cara seperti itu sebenarnya memuliakan Tuhan atau sebaliknya: “meremehkan” Tuhan.

Si Jenggot tersenyum geli melihat saya kelimpungan.

Tiba-tiba lagi muncul kawan saya yang lain. Seorang berbadan gempal, berkulit bersih dan matanya sipit.

“Wah kalian ini orang-orang yang aneh,” katanya, dengan raut muka teduh seperti danau di tengah hutan. “Tuhan itu maha memiliki, mengapa kita harus melakukan hal-hal konyol seperti itu? Lebih baik kita mengosongkan diri.Menyingkir dari hiruk-pikuknya dunia, bertapa menyatukan jiwa dengan yang maha kuasa. Menjadi pertapa adalah pilihan terbaik saat ini.” Sambungnya nyerocos seperti iklan minyak goreng di televisi.

Jujur. Sebagai manusia fana yang mulai menua,  saya termangu. Apa artinya hidup kita jika kita menghanyutkan diri dalam kesunyian? Perlukah Tuhan kita temani dalam kesendirianNya?.

Saya masih melongo seperti kerbau dungu. Kawan-kawan saya, si Keriting, Jenggot, dan si Gempal juga membisu dalam lamunanya sendiri-sendiri.

Entah dari mana datangnya tiba-tiba muncul seorang lelaki muda membawa sepiring singkong goreng yang masih mengepul. Lelaki itu tersenyum lebar.

“Saya lihat bapak-bapak sedang berdiskusi hangat, ini saya bawakan sepiring singkong goreng. Masih hangat. Silakan dinikmati sambil menunggu hujan reda.”

Kami terkejut tentu saja, karena kami tidak mengenalnya. Bahkan tidak sadar kalau dari tadi hujan turun dengan lebatnya. Tanpa banyak cakap kami langsung melahapnya. Enak sekali. Bahkan menurut si Keriting ini adalah singkong goreng terlezat sepanjang hidupnya. Saya setuju. Si Jenggot & si Gempal mengiyakan. Kami sibuk mengunyah singkong goreng itu dan tidak sempat lagi memikirkan apakah singkong goreng itu ditaburi garam, atau pantaskah untuk perut prajurit Tuhan, atau bolehkah dimakan oleh para pertapa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun