_________________________
Keluarga muda yang -- nyaris -- sempurna. Sang ayah pengusaha bersih, jujur, dan tentu saja : sukses. Baginya uang bukan masalah. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, ia juga bisa menghidupi ribuan keluarga lain (para pegawai perusahaannya maupun orang-orang lain yang disantuni dari kegiatan amalnya).
Sang isteri, perempuan lembut cantik jelita (kalau sudah berurusan dengan yang cantik-cantik, biasanya kisruh & merusak jalan cerita, jadi dengan berat hati saya putuskan untuk tidak meneruskan cerita tentang perempuan cantik ini. Mudah-mudahan anda tidak kecewa...)
Anaknya dua. Si sulung laki-laki kelas 5 SD. Adiknya perempuan kelas 3. Ganteng & cantik seperti ayah ibunya. Hidup berkelimpahan, kedua anak ini mendapatkan fasilitas yang lebih dari cukup (bahkan berkelebihan) untuk pendidikan mereka. Bukan hanya buku atau guru privat, kedua anak ini bisa mendapatkan apa saja untuk keperluan sekolah mereka. Maklum sang ayah (dan ibunya tentu) memang sangat peduli terhadap pendidikan mereka.
Entah bagaimana ceritanya, kedua anak ini ternyata tidak naik kelas. Kedua orangtuanya, terutama sang ayah sangat sedih mendengarnya. Lebih sedih lagi ketika tahu bahwa kedua anaknya tidak naik kelas karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengamen di perempatan jalan : "membantu ayah mencari uang?"
________________________________
Kadangkala, tanpa kita sadari, kita seperti kedua anak kecil itu –- terpesona dengan pekerjaan-pekerjaan besar milik Tuhandan lupa mengerjakan tugas-tugas kita sendiri. Berdebat tentang hal-hal yang jauh diluar jangkauan, sama absurdnya (baca: konyol) seperti berusaha memindai pikiran Tuhan.
.
1. Berdebat tentang kesahihan kitab suci
Adabanyak forumdebat kitab suci. Anda bisa menelusurinya di internet atau mengunjungi toko buku. Di toko buku (termasuk kios kaki lima), anda akan menemukan banyak sekali buku“berbalas pantun” seperti itu. Topik perdebatan bermacam-macam dari yang ” remeh temeh” sampai kisah akhir jaman, surga & neraka.
Inti dari perdebatan itu hampir selalu sama :
“kitab suci sayalah yang BENAR. Kitab suci anda PALSU dan menyesatkan”.
Mengapa harus berdebat tentang kebenaran kitab suci? Bukankah kebenaran yang hakiki itu kepunyaanNya? [dan rasanya, Ia sendiritidak pernah kebakaran jenggot mengenai halapa yangselama ini kita perdebatkan].
Alangkah eloknya jika kita tidak “mencampuri urusan” Tuhan. Cukuplah kita mengerti bahwa kitab itu kita sebut suci karena di dalamnya kita menemukan sumber – sumberkebaikan. Kebaikan untuk kita & orang-orang di sekitar kita. Siapapun mereka. Hitam atau putih. Lurus atau keriting.
2. Berdebat tentang sains & kitab suci
Di abad pertengahan Copernicus pernah hampir dipenggal kepalanya. Musababnya sederhana, ia menyodorkan gagasan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Teorinya ini menimbulkan “keguncangan teologis” pada masyarakat waktu itu karena “kebenaran kitab suci” yang mereka yakini selama ribuan tahun tidak mengatakan demikian [bumi merupakan pusat alam semesta].
Teori Copernicus itu hari ini terbukti benar sesuai kaidah ilmiah ilmu pengetahuan. Apakah keyakinan akan Tuhan sirna karenanya? Ternyata tidak. Ilmu pengetahuan itu justru "mendewasakan" keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan [meskipun harus melalui proses panjang dan berdarah-darah].
Kurang lebih 150 tahun yang lalu Charles Darwin juga “membuat ulah” dengan teori evolusinya. Teori evolusi Darwin ini lebih dahsyat & menggegerkan karena secara terang-terangan menohok kisah tentang penciptaan alam semesta yang tertulis dalam kitab suci. Sampai detik ini perdebatan sengit tentang evolusi vs kitab suci ini masih terus berlangsung. Anda juga dapat mengikutinya secara online atau dari jurnal & buku-buku.
Salah satu tokoh fenomenal dalamperdebatan ini adalah Harun Yahya (ada banyak tokoh lain sebetulnya, termasuk orang-orang yang meyakini kitab suci yang berbeda dengan kitab sucinya Harun Yahya). Harun Yahya menulis banyak buku untuk melawan apa yang disebutnya sebagai “kepalsuan “ teori evolusi. Ia banyak mengutip kitab suci untuk melawan Darwin. Sebaliknya, dalam buku yang lain Harun Yahya juga banyak mengutip “kajian-kajian ilmiah" untuk membela “kebenaran” kitab sucinya.
Saya tak hendak mengajak berdebat tentang kitab suci (perdebatan kita mungkin hanya akan mengotori kesuciannya) atau menambah keruwetan dengan memunculkan teori-teori yang lain. Cukuplah Darwin dengan teori evolusinya & Harun Yahya dengan buku-bukunya.
Pertama, saya hanya ingin bertanya : pentingkah asal-usul kita -- segumpal tanah atau seekor monyet? Apa bedanya manusia diciptakan dari segumpal tanah atau dari seekor monyet? Lebih muliakah segumpal tanah dibanding seekor monyet?
Kedua, saya hanya ingin memberi saran: biarkanlah Tuhan bekerja sekehendak hatiNya. Mau menciptakan manusia dari segumpal tanah, dari tulang rusuk atau dari kemaluan monyet. Itu semua urusanNya. BUKAN urusan kita! Biarkan Tuhan bekerja sesuai rencanaNya. Ia tidak butuh bantuan kita untuk membangun kerajaanNya. Mau mendirikan surga dalam kehampaan atau mengisinya denganmalaikat & para bidadari, itu semua BUKAN urusan kita!
Ketiga, mari lakukan tugas-tugas kita -- saling menyayangi satu sama lain. Berbagi senyum dan suka cita. Kepada siapapun mereka, yang hitam atau putih, yang lurus maupun yang keriting. Biarkan semua itu tetap sederhana.
Salam…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H