Beberapa hari lagi, kita akan merayakan Hari Anak Nasional. Namun, realitanya masih banyak hak anak yang direnggut, salah satunya adalah tentang keamanan dan kenyamanan. Kekerasan pada anak masih terus merajalela. Bahkan, pelakunya bisa saja seorang anak. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?Â
Kejadian kekerasan terhadap anak di Indonesia sudah dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. 84% siswa Indonesia melaporkan mengalami kekerasan di sekolah, menurut penelitian yang dilakukan oleh Plan International dan ICRW pada tahun 2015.Â
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengimbau para pendidik untuk berhenti menghukum siswa secara fisik. Untuk mendorong pertumbuhan belajar anak-anak dan membekali mereka dengan wawasan, informasi, dan keterampilan terbaik, lingkungan belajar di sekolah harus nyaman bagi siswa. Ada empat jenis intimidasi di sekolah: kontak fisik langsung (memukul, mendorong, meninju, dan tindakan kekerasan lainnya), perilaku nonverbal langsung (pandangan sinis, ekspresi wajah merendahkan), perilaku nonverbal tidak langsung (membungkam orang lain), dan pelecehan seksual (kata-kata yang mengejek atau tidak sopan yang digunakan untuk menunjukkan area yang sensitif secara seksual).Â
Pelaku kekerasan di sekolah bahkan dapat merupakan sesama anak. Pelaku kekerasan/perundungan ini cenderung lebih kuat secara fisik dan sosial daripada anak-anak lain. Mereka juga menunjukkan agresivitas dan keterampilan interpersonal yang buruk. Sementara itu, korban perundungan cenderung lebih tidak mampu secara finansial, pendiam, dan penurut, serta memiliki harga diri yang rendah.Â
Pada dasarnya, tindakan perundungan ini dipengaruhi oleh tingkat emosional anak dan remaja yang masih labil. Interaksi dengan orang lain akan mengungkapkan bagaimana elemen sosial dan emosional terkait. Komponen kunci dari kegiatan sosial dalam kehidupan adalah kontak sosial. Selain ikatan antar manusia, kelompok, dan pengelompokan sosial, interaksi sosial juga mengacu pada hubungan sosial yang dinamis. Menurut Johnson (1993), orang memiliki kebutuhan yang mendalam akan koneksi dan hubungan interpersonal. Mereka juga memiliki keinginan untuk dirinya sendiri yang hanya dapat dipenuhi melalui interaksi sosial.Â
Seperti yang baru-baru ini terjadi pada seorang siswa SMP di Temanggung, Jawa Tengah, ia nekat membakar sekolahnya sendiri karena sakit hati sering dirundung oleh teman-temannya. Selain itu, korban yang berinisial R juga merasa tidak didengarkan oleh gurunya karena dia sudah mencoba mencari bantuan, tetapi keluhan R ini dianggap hanya mencari perhatian saja. Kasus R ini harus disikapi dengan bijak dari pihak sekolah. Seharusnya pihak sekolah mengungkap pelaku perundungan tersebut agar menjadi bahan pelajaran untuk masa yang akan datang dan tidak melakukan penilaian sepihak dengan menyebut korban hanya mencari perhatian saja,Â
Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, Sekolah perlu menerapkan sistem pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan berdasarkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Dengan diterapkannya peraturan tersebut, setiap sekolah perlu membuat sistem pengaduan dan pelaporan yang melindungi korban perundungan. Dengan adanya sistem tersebut, anak-anak korban perundungan yang selama ini takut untuk bersuara bisa mengadu. Lebih dari itu, guru sebagai tenaga pendidik harus belajar menangani pengaduan siswa dengan serius karena masih banyak guru yang menganggap ringan kasus perundungan di sekolah.Â
Diperlukan sosialisasi dan komunikasi juga di lingkungan sekolah mengenai bahaya serta hukuman apa saja yang akan diterima jika sampai terjadi tindak kejahatan perundungan di sekolah. Seperti yang tertuang dalam KUHP menentukan bagaimana intimidasi harus ditangani. Pelaku perundungan tunduk pada ketentuan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Perampokan, dan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Penganiayaan Yang Dilakukan Di Depan Umum Dan Menodai Martabat Seseorang. Penanganan kasus perundungan pun harus tuntas agar siklus perundungan tersebut tidak terulang kembali karena perundungan berdampak secara psikis kepada korban seperti gangguan stres pasca trauma, depresi, cemas, dan psikotik. Hal-hal diatas harus dilakukan demi melindungi anak-anak kita dari tindak kejahatan perundungan baik sebagai pelaku maupun korban. Â
Referensi:
Finaka. (2020). Setop Kekerasan Pada Anak di Sekolah! Indonesia Baik. Retrieved July 21, 2023, from https://indonesiabaik.id/motion_grafis/setop-kekerasan-pada-anak-di-sekolah
M. (2021, November 29). Penindasan dan Kekerasan Fisik di Sekolah. Fakultas Psikologi Terbaik Di Sumatera Utara. https://psikologi.uma.ac.id/penindasan-dan-kekerasan-fisik-di-sekolah/