[caption id="attachment_340623" align="aligncenter" width="582" caption="Memanen hasil kebun di Lewa yang pengairannya memanfaatkan energi dari mikrohidro. [Foto: Hermitianta Prasetya"]"][/caption]
Berawal pada 2011, Hivos bersama sejumlah lembaga pemerintah maupun non-pemerintah mengambil inisiatif untuk menjalankan program ambisius di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dalam tajuk “Sumba Iconic Island”, Hivos bermaksud menjadikan Sumba sepenuhnya memanfaatkan listrik dari sumber energi terbarukan. Kerjasama berbagai pihak ini bermaksud menjadikan Sumba sebagai percontohan pemanfaatan energi bersih untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Untuk mendukung perwujudan energi bersih di Sumba, Hivos menggandeng berbagai organisasi lokal maupun internasional, swasta maupun pemerintah berbagai negara. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Bank BNI, IBEKA (Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), merupakan lembaga nasional yang berkontribusi pada proyek ini. Sedentary itu, Asian Development Bank, Kementrian Luar Negeri Norwegia, dan SNV (Stichting Nederlandse Vrijwilligers) adalah organisasi internasional yang terlibat kerjasama dengan Hivos.
Target “Sumba Iconic Island” adalah 95% rasio elektrifikasi Pulau Sumba (jumlah rumah tangga yang telah beralih menggunakan energi listrik) dengan 100% energi listrik berasal dari sumber terbarukan pada 2023. Sudah bukan rahasia lagi jika jaringan listrik konvensional memiliki keterbatasan jangkauan. Pun energi listrik yang disalurkan kebanyakan pembangkit listrik berasal dari pembakaran batubara, yang notabene menjadi aktivitas penghasil gas rumah kaca yang utama. Demikianlah korelasi konsumsi listrik konvensional dengan perubahan iklim.
Pada 2008, Nusa Tenggara Timur memiliki rasio elektrifikasi terendah se-Indonesia, yaitu 24,55%. Kenyataannya, sebagian besar masyarakat di pelosok Sumba masih bergantung pada minyak tanah untuk penerangan dan kayu bakar untuk memasak. Hal ini kurang lebih berkontribusi sama terhadap pemanasan global, yakni dalam hal produksi CO2 (gas rumah kaca).
Rasio elektrifikasi terendah se-Indonesia bukan satu-satunya faktor yang membuat Sumba terpilih untuk dijadikan daerah percontohan energi terbarukan. Kemudahan akses untuk mendatangkan teknologi energi terbarukan juga dipertimbangkan. “Sumba dipilih karena infrastruktur seperti bandara dan jalan sudah ada untuk mengangkut peralatan pembangkit listrik,” kata Dewi Suciati, staf komunikasi Hivos.
Infrastruktur energi terbarukan yang sudah dibangun di Sumba selama berlangsungnya program “Sumba Iconic Island” meliputi panel surya, turbin angin, digester biogas, dan pembangkit listrik mikro hidro. Seluruhnya difungsikan untuk memproduksi listrik dalam skala lokal. Sejak dimulainya program ini jumlah rumah tangga yang beralih menjadi pengguna listrik meningkat dari 22,55 % menjadi 40%.
Selain mampu menghasilkan energi listrik dan bahan bakar memasak, proses produksi biogas juga menyisakan residu berupa pupuk organik. Teknologi digester biogas terbukti mampu mengubah kotoran ternak menjadi barang bernilai ekonomi tinggi. Keluarga yang memanfaatkan biogas terbukti mampu meningkatkan produksi pertaniannya hingga 100%.
Setelah sukses memberdayakan ribuan keluarga di seluruh dunia melalui pembangunan teknologi biogas, tahun 2014 ini Hivos melanjutkan pembangunan instalasi energi terbarukan di Sumba. Sejumlah proyek pembangunan energi terbarukan yang sedang berlangsung maupun yang telah memberi manfaat bagi masyarakat mulai dipromosikan. Salah satu program untuk mempromosikan “Sumba Iconic Island” adalah Ekspedisi Sumba.
Di tahun ketiga penyelenggaraan Ekspedisi Sumba, empat orang Belanda dan empat orang Indonesia terpilih untuk menjelajahi Sumba selama seminggu. Saya termasuk salah satu warga Indonesia yang termasuk dalam tim Ekspedisi Sumba 2014. Selain singgah di situs-situs energi terbarukan, kami juga berinteraksi dengan budaya asli masyarakat pelosok Sumba.
Cerita dari Sumba
Ekspedisi Sumba adalah perjalanan mengumpulkan cerita dari warga di pelosok Sumba tentang keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup. Sumba, tanah yang menjadi saksi bahwa waktu seakan berhenti, seolah sentuhan kemajuan masyarakat luar daerah (termasuk pemerintah) hampir tak terlihat jejaknya. Selama awal September 2014, kami menjelajahi segala lanskap yang menjadi ikon Sumba. Saya pun berkesempatan menambah perbendaharaan kekayaan budaya Indonesia dan berkesempatan untuk membagi cerita.
Ekspedisi Sumba membuka mata saya, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk maju dan menentukan nasib sendiri. Bahwa kedaulatan energi, yaitu kebebasan untuk memilih energi yang berdampak positif terhadap lingkungan, bisa saja muncul di tempat yang tidak pernah saya impikan untuk menjelajahinya.
Cerita tentang Uma Pege (Rumah Pintar) di Kandau Tana, Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, membuat saya terharu. Pater Mikael Molankerafessi (46) bercerita tentang Herman, si pencuri lihai yang bertaubat. Herman yang dulunya menjadi ancaman bagi masyarakat, saat ini justru menjadi penyumbang utama bagi setiap kegiatan kemasyarakatan. “Aku suka melihat perkembangan perubahan di mata mereka,” kata Pater Mike yang berbangga terhadap perubahan dalam masyarakat di Kandau Tana.
Perubahan ini diawali dengan pembangunan Uma Pege, yang menjadi simbol perubahan dari kebiasaan mencuri menuju aktivitas masyarakat pengrajin (tenun, ukir, dsb.) dan berkebun. “Sejak 2011, Uma Pege menjadi rumah kelompok tempat mendiskusikan cara hidup yang baik. Memintarkan orang yang bodoh, pencuri, pemalas, dan penjudi,” kata Andreas Radukaka, Ketua Kelompok Tani. Andreas pula yang bersemangat untuk bisa memanfaatkan teknologi biogas untuk mendukung kegiatan berkebunnya. Bio slurry merupakan cairan residu proses produksi biogas yang begitu diidamkannya. Disamping itu, ia pun berharap biogas mampu mengubah cara masak warga menjadi lebih ramah lingkungan dan tidak perlu lagi membakar kayu.
Cerita berikutnya adalah tentang pertanian terpadu yang didukung teknologi biogas sebagai penghasil pupuk. Lainnya, teknologi solar cell telah mengalirkan air ke lahan pertanian.
Sebagian besar wilayah Sumba merupakan daerah kering dengan kontur perbukitan kapur. Lahan kering dan curah hujan minim membuat masyarakat kurang tertarik untuk bekerja di bidang pertanian. Sebagian besar warga bercocok tanam sebagai kegiatan sampingan saja. Demikian pula di Lewa, Sumba Timur.
Di Sumba, inovasi teknologi menjadi penting untuk memicu inisiatif warga di bidang pertanian. Cerita petani Sumba yang sukses diwakili oleh Made Raspita dari Lewa. Beliau sudah menuai kesuburan lahan pertanian dan nilai ekonomis biogas selama 2 tahun. Dengan adanya bantuan panel surya, lahan pertanian yang kering pun berhasil dialiri air dari sumber terdekat, yaitu Patama Kondamara Wai. Ketersediaan air dan pemanfaatan pupuk organik, terutama bio slurry, mewujudkan pertanian terpadu yang mampu menghidupi masyarakat.
Cerita terakhir adalah dari Laimbonga, desa yang dikelilingi perbukitan di tengah-tengah Sumba Timur. Perjalanan 4 jam berangkat serta 4 jam pulang ke Waingapu menjadi ikon selama Ekspedisi Sumba. Mobil double cabin menembus belukar dan menghajar pegunungan kapur di pelosok Sumba. Dua kali pecah ban menjadi bukti ganasnya medan petualangan kami. Petualangan yang mematahkan segala ekspektasi tentang kemungkinan kemajuan di pelosok. Bahwa ternyata rasa kekeluargaan begitu kental dalam tubuh masyarakat Laimbonga. Umbu Hamanay, tokoh utama (raja) di Kadumbul, begitu memuliakan tamu. Didukung warga dari desa-desa sekeliling, warga Laimbonga menyajikan keramahan khas Indonesia.
Rambu Dyhaledy (28), putri Raja Kadumbul, belajar Biologi Lingkungan dari salah satu universitas swasta di Yogyakarta, lalu kembali untuk membangun kampung halamannya. Pengetahuan yang didapat dari dunia luar diselaraskan dengan cara hidup masyarakat Laimbonga. Rambu memperjuangkan keinginan warganya untuk membangun biogas sebagai penyelaras cara beternak sapi, kuda, dan babi, dengan lingkungan sekitar.
Global knowledge dan grassroot experience, perpaduan yang semakin langka ditemui, justru diterapkan Rambu. Pengetahuan baru ia tularkan pada masyarakat daerah dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. “Saya ingin tinggal di desa dan maju bersama masyarakat,” kata Rambu. Kemajuan Laimbonga ditandai dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga mikro hidro, yang sudah memasuki tahap akhir pembangunan saat kunjungan tim Ekspedisi Sumba. Setelah listrik masuk ke desa Rambu berharap dapat meningkatkan aktivitas warga, terutama kegiatan belajar anak-anak.
Cerita-cerita selama Ekspedisi Sumba menjadi pemantik harapan tentang kemajuan masyarakat pelosok, yang lebih sering terlupakan. Harapan bahwa kemajuan masih bisa dicapai dalam keterbatasan. Dengan kepedulian pihak-pihak yang berkemampuan, pemerataan pembangunan bukan lagi impian. Untuk itu, Ekspedisi Sumba menjadi salah satu kegiatan untuk menjangkau mereka yang memiliki kepedulian pada keterbatasan masyarakat Sumba.
Sekembalinya dari Sumba, para anggota ekspedisi merancang program crowdfunding (menghimpun dana publik) untuk membantu percepatan pembangunan sejumlah digester biogas di Sumba. Untuk program crowdfunding tim Belanda bisa dilihat di sini dan program crowdfunding tim Indonesia di sini.
Keterlibatan masyarakat luas dalam memajukan Sumba menjadi titik berat program crowdfunding peserta Ekspedisi Sumba. Aksi ini bisa mempersempit jurang ketimpangan kemajuan antara pusat dan daerah.
Memeratakan pembangunan bukan hanya kewajiban pemerintah saja. Jika kita mampu berperan, kenapa tidak? Kemajuan masyarakat daerah dapat dimulai dengan menegakkan kedaulatan energi. Kemandirian energi serta kebebasan untuk memilih dan berpihak pada energi bersih adalah hak setiap warga negara.
Penulis: Hermitianta Prasetya, peserta Ekspedisi Sumba 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H