Di kepingan fajar aku masih menyisir jejak-jejak kenangan purba. Siluet pagi masih menyisakan bercak-bercak sunyi penghantar ke jendela tua. Selintas masih terbayang rekahan senyum manis di sela rimbunan melati. Wajah teduh berbola mata bening seputih salju.
Nyannyian lirih angin masih menyisakan sketsa kenangan. Dahulu, setiap malam kita sibuk melantunkan syair-syair kehidupan. Hingga tak sadar melewati pagar malam yang kian meninggi, dan pada detik- detik yang kian luruh berdebu.
Di musim semi yang lalu, kita selalu asik menatap rasi bintang hingga sampai ke ujung garis malam. Berulang kali kita lewati malam pada larik-larik kesyahduan canda tawa. Mengukir renjana hingga bola teduh kian redup diserang kantuk.
Kita sambut mentari yang masih tersipu, dengan ucapan salam. Kita hirup wawangian pagi dengan perbincangan hangat mengalir hingga ke nadi. Selalu berulang hingga pelepah senja luruh dimangsa malam.
Namun kini, musim telah berganti baju. Musim gugur tiba menyapa. Tak kudengar lagi alunan syair-syair kehidupan menyejuk kalbu. Taburan bintang tak lagi mampu mengucapkan salam kesyahduan. Semua telah asing dibopong kesunyian.
Pucuk-pucuk rencana tak lagi merimbun di ruang kepala. Bunga-bunga renjana layu berguguran. Jejak-jejak sapa pun lenyap digulung sepi. Begitu pun ruang mimpi tak lagi berpenghuni.
Namun, bait-bait do'a masih subur merimbun di kalbu. Rupa-rupa asa masih kutaburkan dalam ingatan. Biarkan kuadukan semua di sujud terpanjang. Berharap musim gugur takkan membawa kemarau kalbu berkepanjangan.
(Sungai Limas, 5 Februari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H