Senja masih saja begelayut manja. Mengundang rinai hujan datang bertamu, hingga membasahi ke pucuk kalbu. Dan siluet senja pun menghamburkan senyum menyibak hingga ke nadi.
Di sini, aku masih memunguti debu-debu kenangan purba. Tak peduli pada lambaian mentari senja ucapkan salam di kolase perpisahan. Aku asik menikmati racikan rindu di cangkir kesunyian.
Kini malam diselimuti alunan pujian penghambaan. Aku termangu, seketika terengah. Ada apa? Isi kepala seketika brontak. Gemetar sekujur raga. Alunan syahdu itu mengikis akar kehampaan yang lama menggerogoti sukma.
Kutatap lekat jam dinding yang meninggalkan detik-detik merapuh, dan pagar-pagar malam yang meninggi. Kesunyian ini telah merobek kesombongan lama bersarang di kalbu. Seketika logika pun limbung terkapar.
Sukma ini lelah tertatih merenda anyaman mimpi, meludahi jejak kelam. Sungguh perih berdamai pada amukan belati angkara. Harus tegar, teruslah angkat kedua tangan mengemis cintaNya.
Sunyi malam telah menaburkan benih-benih kesadaran, bagi hambaNya yang ingin kembali. Seluas hamparan samudera, seputih pepasir di pantai.
Bersihkan diri pada air kesucian. Hamburkan saja pelukan rindu di pundak penghambaan. Yakin kelak bahagia kan diam bertahta di dalam sukma.
(Sungai Limas, 31 Januari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H