Hari ini kusaksikan mentari sendu. Biasanya tersenyum manja berbedak ceria. Namun mengapa kali ini diam tertunduk bermuram durja. Angin berbisik lirih membelai dedaunan. Pohon akasia diam seribu kata. Ada apa gerangan?
Kutanya awan putih, sang kapas tipis penghias langit itu pun tak mampu bercerita. Lalu kutanya lagi sisa embun bertengger di ujung daun. Embun menghela napas lirih tak bergeming.
Belum habis tanda tanyaku, kepingan kabar mendobrak ruang telinga. Seluruh tubuh bergetar. Nadi seakan sudah tak berirama. Pikiranku limbung seketika .
Benarkah sang perenda diksi telah pergi? Beberapa saat aku kehilangan kata-kata. Kenapa pagi tak ingin berbagi sepenggal kabar? Setidaknya, ada rangkaian do'a yang bisa kubingkiskan saat melepas kepergianmu. Mataku tak henti berkaca.
Dek. Itulah yang sering kuucapkan setiap menyebutmu. Kau tersenyum khas. Aroma kopi dan diksi senantiasa direnda dalam untaian puisi indah, penghias beranda.
Terlalu indah kenangan yang pernah kita rajut bersama. Terlalu banyak canda yang menghiasi setiap mentari duduk di singgasana. Namun kali ini, tersisa cabikan-cabikan perih dalam rintih.
Dek Arman. Kusebut lirih namamu dalam rintihan do'a. Terimalah do'a-do'a tulus yang merimbun di sajadah panjang. Selamat jalan adikku. Selamat jalan perenda diksi, penyeruput kopi. Tenanglah di sisi terbaikNya. Bahagialah dipelukkan kasihNya. Namamu kan selalu terukir indah di sanubari.
(Sungai Limas, 21 Januari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H