Saya sempat mendengar perbincangan beberapa ibu pedagang. Rata-rata membicarakan rumahnya sebagian terdampak banjir, dan sebagian yang lain tak bisa menengok anggota keluarganya yang berada di daerah Barabai kabupaten Hulu Sungai Tengah. "Sampai sekarang hilang kontak" Kata seorang ibu. Saya bisa memahami kekhawatiran mereka, maklum daerah Hulu Sungai Tengah merupakan salah satu wilayah yang terdampak banjir begitu parah.
Setelah membeli beberapa keperluan, saya langsung pulang. Takutnya debit air kian tinggi menggenangi jalan yang mengakibatkan mesin sepeda motor menjadi mogok.
Sesampai di depan rumah, benar saja debit air kian tinggi dan tinggal kamar yang belum kemasukan air, karena memang untuk kamar sengaja dibangun lebih tinggi. Itu pun juga tinggal sekitar 2 jari tangan orang dewasa. Saya bergegas membereskan kamar, mengangkat kasur dengan sebuah meja kecil sebagai penyangga. Anak-anak saya yang masih kecil saya usahakan mengungsi ke rumah keluarga yang tak jauh dari rumah saya. Namun anak-anak saya bukan tipe anak yang mudah mau berpisah dengan ibunya. Hehe.
Anak-anak begitu riang main air di dalam rumah sendiri. Sedangkan saya bergegas melipat pakaian yang sudah kering dijemur kemaren. Tapi tak disangka, baru beberapa lembar pakaian saya lipat, air sudah masuk ke dalam kamar. Saya pun menghentikan aktivitas melipat pakaian. Sisanya dibuat dalam sebuah baskom pakaian.
Dalam keadaan seperti ini, tentunya untuk melakukan shalat pun seperti biasa juga tak bisa dilakukan. Saya dan anak-anak shalat duduk di atas kursi. Sungguh terasa sedih dalam hati. Badan sangat penat, namun apa daya tak bisa baringan.
Menjelang ashar, suami beriniasiatif menumpuk karung-karung berisi pakan ikan, yang sebelumnya sudah diberi alas susunan kayu ulin yang cukup besar. Akhirnya lega juga bisa duduk nyaman, meski di atas tumpukkan karung berisi pakan ikan. Kalau sudah keadaan darurat seperti ini, apa boleh buat. Sungguh ini adalah ujian kesabaran bagi kami.
Menjelang maghrib tadi, anak-anak mau dibujuk untuk menginap di rumah keluarga yang rumahnya jauh lebih tinggi. Sedangkan saya dan suami tetal bertahan di dalam rumah. Kami berdua makan dan shalat di atas tumpukan karung pakan ikan. "Ya syukuri saja keadaan kita seperti ini. Semuanya nanti akan berakhir kok, sabar saja dan teruslah berdo'a." Ucap suami saya. Mendengar kata-kata yang menyejukkan seperti itu, saya kembali punya semangat dan tak mengeluh lagi.
Dalam benak saya, bagaimanapun keadaan seperti ini akan terus membekas dalam ingatan. Karena banjir terulang lagi untuk yang kedua kalinya menggenangi rumah sendiri. Meninggalkan guratan-guratan memori dalam hidup. Dari banjir ini saya banyak mengambil pelajaran. Di antaranya adalah tumbuhnya rasa empati kepada sesama. Karena saya sendiri sudah merasakan kepedihan hidup dalam suasana banjir ini. Benar kata pepatah. Pengalaman adalah guru yang paling berharga.
(Sungai Limas, 18 Januari 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H