Sayuran seperti genjer, kangkung potong, kesisap, palilak, batang tanding (teratai) dengan mudah dapat dicari asal berani berbasah ria. Air genangan rawa hingga paha, kadang sampai ke dada. Perjuangan tak mengenal rasa takut memang.Sedikit pun sepertinya tak pernah terlintas jika di tengah rawa, sawah maupun di tepian danau ada ular atau binatang berbahaya lainnya. Nyatanya setiap hari ada saja sayuran yang dijinjing dalam bakul.
Acil yang lain sepertinya membawa tangguk dengan isi berbeda. Berisi daun palilak berlipat-lipat, daun pisang dalam tumpukan tumpukan. Di sela-selanya kecipak ikan sepat, saluang, menangin, papuyu, juga beberapa ikan besar seperti haruan (gabus), dan nila liar. Tujuannya juga sama, yaitu pasar. Akhir tahun tadi memang hujan benar-benar menggenang daerah mereka. Sungai yang membelah Kabupaten Hulu Sungai Utara, benar-benar meluap. Kawasan Hulu sumber datangnya air yaitu Kabupaten Balangan dan Tabalong tahun baru ini sudah banjir. Apalagi bagian hilirnya yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Kondisi demikian tak membuat acil-acil patah arang. Periuk nasi lebih penting dari sekedar banjir yang menggenangi. Berharap bantuan pemerintah, entah kapan. Yang jelas hidup harus terus berjalan. Dan salah satu caranya adalah dengan tetap melangkahkan kaki membawa bakul yang penuh terisi.
Sepulang dari pasar sebagian besar mereka tak membawa uang. Bakul yang penuh ketika berangkat akan penuh terisi. Tidak dengan barang yang sama, melainkan tertukar dengan kebutuhan rumah tangga lainya.Sayur berganti dengan garam, sabun mandi, sabun cuci, jajanan pasar, Â ikan kering, gula merah, gula putih. bawang merah. bawang putih dan sebagainya. Demikian juga dengan bakul yang berisi ikan, akan kembali terisi keperluan rumah tangga lainnya.
Dalam genangan air. masih terdengar canda di antara mereka. Kadang bercerita tentang telah menemukan ular besar di tengah padang. Bercita-cinta punya menantu PNS atau pengusaha yang kaya raya dari kota. Dan segala macam cerita dalam harapan. Tak sadar saat berjalan yang kadang tanpa alas kaki itu sela-sela jari kaki sudah berkoreng kena kutu air dan sejenisnya.
Yang membuat mereka bersorak dan nyaring suaranya ketika ada tetangga mereka yang punya anak perawan menikah. Mas Kawin (jujuran) jadi gengsi sesama mereka. Semakin tinggi mas kawinnya maka semakin dianggap hebat.
Lucu memang, ketika pendidikan anak perempuan tinggi maka mas kawinnya harus tinggi. Semakin tinggi lulusan pendidikannya, semakin tinggi mas kawinnya. Padahal antara pendidikan dan mas kawin tak ada korelasi sama sekali. Tapi begitulah adanya.
Acil-acil penjinjing tangguk tak pernah mengenal namanya musim paceklik. Apa pun dapat menghasilkan asal masih bisa berusaha.
Ketika banjir datang, tempirai (wuwu) cukup dipasang di kiri kanan kolong rumah. Maka dengan sendirinya ikan akan datang dan terjebak di dalamnya. Ikan sepat, menangin, puyau, papuyu, lembat, baung, dan segala jenis ikan air tawar.
Sepertinya apa pun yang berada dalam tangguk jika sampai ke pasar akan terjual. Hampir tak pernah terdengar ada sayuran maupun ikan yang kembali dibawa pulang. Isi tangguk pasti berbeda antara berangkat dan pulang.
Sekilas memang mustahil. Tapi begitulah, jika tak ada yang membeli dengan uang, maka acil-acil menjinjing tangguk akan menukarkan barangnya dengan barang lain kepada penjual kebutuhannya.
Meski zaman sudah milenial, bagi acil-acil tersebut cara memaksa agar barang yang dibawanya tak kembali ke rumah lagi adalah dengan memaksa penjual barang lainnya dengan pertukaran. Kadang walau tak siembang tak mengapa.