Dialah Acil pembawa tangguk, tak mengenal rintik hujan. Tak peduli derasnya hujan. Jika kaki masih mampu berpijak maka langkah pun akan tegap, meski kedua kaki sudah mulai lemah seiring usia. Tujuannya hanya satu, pasar pagi. Dengan tangguk berisi sayuran hasil mencari di danau dan rawa, sisanya hasil petikan di hutan seperti daun paku, kembang pucuk tigarun, sulur keladi (akar keladi), dan selebihnya hasil tanaman pekarangan ataupun belakang rumah seperti pisang dan daunnya, serta umbi-umbian seperti keladi sayur, kalangkala, daun singkong, dan lain sebagainya. Apa pun yang penting halal dan jadi uang, paling tidak cukup untuk makan hari ini.
Kondisi demikian tak membuat acil-acil patah arang. Periuk nasi lebih penting dari sekedar banjir yang menggenangi. Berharap bantuan pemerintah, entah kapan. Yang jelas hidup harus terus berjalan. Dan salah satu caranya adalah dengan tetap melangkahkan kaki membawa bakul yang penuh terisi.
Sepulang dari pasar sebagian besar mereka tak membawa uang. Bakul yang penuh ketika berangkat akan penuh terisi. Tidak dengan barang yang sama, melainkan tertukar dengan kebutuhan rumah tangga lainya.Sayur berganti dengan garam, sabun mandi, sabun cuci, jajanan pasar, Â ikan kering, gula merah, gula putih. bawang merah. bawang putih dan sebagainya. Demikian juga dengan bakul yang berisi ikan, akan kembali terisi keperluan rumah tangga lainnya.
Dalam genangan air. masih terdengar canda di antara mereka. Kadang bercerita tentang telah menemukan ular besar di tengah padang. Bercita-cinta punya menantu PNS atau pengusaha yang kaya raya dari kota. Dan segala macam cerita dalam harapan. Tak sadar saat berjalan yang kadang tanpa alas kaki itu sela-sela jari kaki sudah berkoreng kena kutu air dan sejenisnya.
Yang membuat mereka bersorak dan nyaring suaranya ketika ada tetangga mereka yang punya anak perawan menikah. Mas Kawin (jujuran) jadi gengsi sesama mereka. Semakin tinggi mas kawinnya maka semakin dianggap hebat.
Lucu memang, ketika pendidikan anak perempuan tinggi maka mas kawinnya harus tinggi. Semakin tinggi lulusan pendidikannya, semakin tinggi mas kawinnya. Padahal antara pendidikan dan mas kawin tak ada korelasi sama sekali. Tapi begitulah adanya.
Acil-acil penjinjing tangguk tak pernah mengenal namanya musim paceklik. Apa pun dapat menghasilkan asal masih bisa berusaha.
Ketika banjir datang, tempirai (wuwu) cukup dipasang di kiri kanan kolong rumah. Maka dengan sendirinya ikan akan datang dan terjebak di dalamnya. Ikan sepat, menangin, puyau, papuyu, lembat, baung, dan segala jenis ikan air tawar.
Sepertinya apa pun yang berada dalam tangguk jika sampai ke pasar akan terjual. Hampir tak pernah terdengar ada sayuran maupun ikan yang kembali dibawa pulang. Isi tangguk pasti berbeda antara berangkat dan pulang.
Sekilas memang mustahil. Tapi begitulah, jika tak ada yang membeli dengan uang, maka acil-acil menjinjing tangguk akan menukarkan barangnya dengan barang lain kepada penjual kebutuhannya.
Meski zaman sudah milenial, bagi acil-acil tersebut cara memaksa agar barang yang dibawanya tak kembali ke rumah lagi adalah dengan memaksa penjual barang lainnya dengan pertukaran. Kadang walau tak siembang tak mengapa.