Secangkir teh hangat telah kunikmati bersama embun
Perlahan mengalir menyusuri rongga tenggorokan
Kuhirup pelan udara pagi bercampur wangi melati
Wangi mawar perlahan datang cemburu
Coba merayu embun untuk segera luruh dari mahkotanya
Embun tertunduk resah
Kuhirup wangi mawar namun melati bergegas pergi
Ada apa gerangan?
Dingin angin singgah ke helai demi helai pikiranku
Mengapa melati terus saja merimbun dalam pikiran
Hingga hatiku penuh lumut gelisah
Sisa teh sudah dingin
Mataku masih nanar memandang embun yang ragu
Kusapa embun dan kubisikkan kata-kata nasehat
"Engkau harus tabah, sudah takdirmu dari Tuhan."
"Lantas apa yang harus kulakukan?"
"Hidup adalah pilihan. Hadapi kenyataan dengan sabar dan berserah diri pada Tuhan."
Embun mengangguk tanda paham
Sekali lagi kehirup pelan udara pagi beraroma mawar
Sedangkan teh sudah hampir habis
Tapi wangi melati tak pula kunjung kembali
Harap dan cemas datang bertamu di bilik hatiku
Semoga engkau di sana baik baik saja
Kutatap lagi embun yang bersiap luruh
Sekali lagi kunasehati
"Jangan pernah kau sesali hidup. Gunakan hidup hanya untuk kebaikan. Hadapi hidup dengan sabar dan do'a pada Tuhan."
Embun pun mengangguk pelan
Percakapan kami terhenti, berakhir luruhnya embun ke bumi
Teh hangat telah habis
Syukur terpanjat menyambut senyum mentari
Hati berkarat terasa bersih
Terbasuh larut dengan memuji Tuhan
(Sungai Limas, 25 Desember 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H