Aku melihat anak gadis belasan tahun. Bawa tangguk turun ke sawah. Air hujan tenggelamkan rumput, lalu iwak kecil menggeliat memercik di atas air.
Kemarau telah berlalu sebulan yang lalu. Belut kembali berburu, keluar dari lobang sarangnya. Tak kentinggalan iwak haruan menggiring anak di tepi galangan. Para pembandan dengan anak itik jadi gantungan. Umpan marah penangkap iwak.
Demikianlah, ketika senja. Berbondong mereka rebutan semak. Anak iwak ditangguk cepat-cepat. Teriakan girang. Anak iwak masuk ember. Rebutan banyak. Terbutan tempat.
Senja kemudian hilang. Mereka pulang, ember separo terisi ikan. Samu, ada dalam kepala mereka. Esok pagi sama-sama ke pasar, ditukar keperluan harian.
Bahagaikah mereka? Aku melihatnya. Mereka sungguh bahagia. Hingga suatu ketika, datang orang dengan seragam membawa kertas berlogo. "Dilarang menangkap anak ikan. Denda atau kurungan bila tak mengindahkan."
Alasan pelestarian, alasan penengakkan undang-undang. Alasan demi alasan dikemukakan.
Pernahkah ia tau, kemarau datang dan sawah akan kering. Jadi lapangan sepak bola. Lalu hujan tiba. Anak iwak lahir dari sana. Pelestariannya mana?
Pernahkah ia datang menyaksikan, menjelang kemarau banyak ikan kurus kerempeng kekeringan. Â Mati jadi santapan berang-berang. Pelestariannya mana?
Jangan asal bicara, Bos. Buyut kami lakukan seperti kami, nenek, dan ibu kami. Jadi tradisi turun temurun di daerah kami. Kalian saat itu belum lahir. Atau entah lahirnya di mana. Hingga tak tau ada sawah dan jernih airnya.
Karenamu, sawah kami merana. Karenamu senja kami hilang tawanya. Karenamu anak-anak iwak jadi sepi dari pestanya. Pelestariannya mana?
Ket.
Tangguk - keranjang rotan, jaring berbingkai untuk menangkap ikan
Iwak - ikan
Haruan - ikan gabus
Pembandan - pemancing ikan menggunakan anak itik untuk membuat ikan marah
Samu - olahan ikan kecil diberi garam dan tumbukan sangrai beras