Cerita tentang anak anjing. Ia melolong sendirian. Ada beberapa anjing memberi saran. Harus ini harus itu. Lakukan ini lalukan itu. Anak anjing manggut-manggut.
Lolongan anak anjing tetap nyaring. Pagi hari. Siang hari. Malam hari. Lolongan demi lolongan diteriakan. Anak anjing memdengar suaranya.
Lelah rasanya, anak anjing akhirnya diam. Ia mengira ada orang yang mendengarnya. Tak ada. Beberapa orang lewat bertanya pada temannya. Oh, anak anjing itu lagi lakukan apa?
Padahal suara parau hampir tak terdengar. Teriakan tak membentur apa-apa. Lewat begitu saja. Waktu tetap berjalan seperti biasa.
Begitukah? Anak anjing, mahasiswa, pelajar, orang miskin, dan rakyat jelata. Teriakannya tak bermakna apa-apa?
Entah, telinga terbuat dari apa. Atau hatinya ada di mana. Yang terlihat hanya parau dan tak lagi bersuara.
(Sungai limas, 6 Oktober 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H