Mohon tunggu...
Ekriyani
Ekriyani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pembelajar di universitas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pada Siang yang Tak Lagi Banderang

26 Agustus 2019   13:39 Diperbarui: 26 Agustus 2019   13:50 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com Tramonto Mare Sole - Foto gratis su Pixabay

Memaku asa dalam tumpukan khayalan,
hanya menyisakan gumpalan serabut kepeningan
Mencoba lari dari fakta
hanya akan menoreh luka baru yang menyengsarakan
Hadapi saja jangan sembunyi.

Kegersangan jiwa
hanya akan membawa kerontang berkepanjangan
Percikan air kesadaran sangat diperlukan,
demi menyuburkan kembali jiwa-jiwa kering
penuh tumpukan debu ambisi dunia.

Haruskah menunggu siang
hingga dipenuhi benderang?
Ah kurasa tidak
Selama hidup
Ini nyata
goresan sejarah setapak demi setapak
menuju titik limit,
jangan tunggu siang hingga benderang.

Selagi tarikan nafas ini ada,
segera paku setumpuk asa
dalam tindak nyata
Bentangkan tali tanggung jawab
Di setiap kepeecayaan
Usah dengar untaian kata memekakakkan telinga.

Biarkan sejenak
bilik hati berkelana
mencari celah diantara siang, yang meski siang sudah tak lagi benderang
Yakinlah,
Ia akan serahkan kembali pada kuasa Tuhan.

(Sungai Limas, 26 Agustus 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun