Mata sering tak berkedip memandang layar gawai, demi menanti balasan seseorang di sana. Mata sering tak bisa terpejam menanti tegur sapa seseorang di seberang sana.
Celoteh lidah tak mampu direda. Sungguh terbuai kata berselaput madu menggoyang benteng jiwa. Hingga lupa, kapan mentari redup dan kapan bunga kembali bermekaran.
Berhari, berminggu, dan berbulan telah dilalui. Jala-jala rindu perlahan menjalar dan mengikat erat hingga ke palung sukma. Siap diangkat kepermukaan sayang oleh sang pengail cinta.
Namun segera disadari, jala-jala rindu itu sungguh menyesatkan. Sampan asmara pengail cinta berhias rangkaian mawar hanyalah sebuah kamuflase. Apa daya tak bisa beranjak lagi, ternyata hati ini telah terjerat dan tertawan di sana. Menyisakan bilur-bilur penyesalan mendalam.
Biarkan saja kusesali segenap kesalahan itu, meski hampir dianggap terlambat. Lebih baik menyesali dan niat tak mengulangi lagi, daripada pasrah dan tak merasa bersalah.
Kusesali kejahilan itu, meski kau anggap hanyalah kekonyolan rasa. Biarkan kuisi hari-hariku kini, habiskan waktu mendekat kepada-Nya. Tumpah ruah jiwa dan raga, demi mengais butiran-butiran cinta kasih-Nya.
(Sungai Limas, 12 Mei 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H