Ia acil Maiyah namanya,  acil sejuta manusia. Pagi masih gelap. Ember dan kampil di tangan. Parang terselip di pinggan. Keluar rumah ke seberang jalan. Ada perahu peninggalan kakek datu.
Semangat ia mengayuh jukung arungi telaga luasnya tak seberapa. Daun palilak segera dikumpulkannya. Kembang teratai pelan ditarik hingga tecabut akarnya.
Ular sanca lewat segera menjauh. Ia tau acil Maiyah sudah di sana ketika ibunya menelurkannya. Hanya nyamuk menenpel di pipi dahi leher. Nyamuk pendek usia, tak tahu jasa acil Maiyah lestarikan jentik-jentiknya. Ambil anak ikan dengan tempirai ditebarkan.
Sinar matahari sudah terlihat jelas, acil Maiyah masih di tengah telaga menarik ikan dari ringginya. Ikan menggeliar terjerat. Seperti acil Maiyah terjerat dalam telaga seumur hidupnya.
Ia sarjana matematika. Guru yang tak punya sekolah. Menanti seniornya pensiun dahulu, begitu kata kepala sekolah.
Tengah hari berlalu, acil Maiyah menyandarkan jukungnya. Berat bawaan. Ember penuh dengan anak ikan. Kampil dengan daun palilak dan bunga teratai beserta tangkainya. Buka dasar di pinggir pasar.
Dia lihat market besar di kanannya. Swalayan di hadapannya. Lalu lalang pembeli beberapa menghampiri. Sangat sepi. Sore hari jualan habis terjual. 47 ribu dalam genggaman.
Dibelanjakan beras setengah gantang. Garam sebungkus. Dan sikat gigi satu. Agar tak busuk mulut ketika bicara, begitu katanya.
Vediotron besar bersinar, ia baca. "Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin sejahtera hidupnya" tak berlaku bagi acil Maiyah dan saudaranya.
(Sungai Limas, 1 Mei 2019)
Ket: acil Maiya - tante, palilak - daun teratai, kampil - tas terbuat dari purun, jukung - perahu, gantang - takaran beras 4 liter, tempirai - alat perangkap ikan