meriang kok.
Malam ini hanya saya dan Satemo Dokar yang ronda. Ngatimin Dingklik, Sastro Carik, dan professor Nalar Jembar izin karena tidak enak badan. Walah, memang lagi musimnyaDi kantor juga banyak orang yang nggak masuk kerja. Gantian nggak masuknya. Rata-rata ya kalau nggak batuk mesti karena gemreges. Badan panas.
Tadi pagi anakku juga nggak masuk sekolah. Alasannya juga karena tidak enak badan. Karena tidak sempat titip surat izin, saya wa wali kelasnya.
Eee... wali kelasnya membalas kalau beliau juga izin tidak mengajar karena sakit. Kok seperti pagebluk ya. Banyak orang sakit.
"Lha nggih lho Pak Estu, apa karena suhu yang puanas ini ya?"
"Ya bisa jadi. Ndonya makin panas, tubuh kita jadi lungkrah."
"Enak Pak Estu, rumahnya pakai AC."
"AC apa lho? Angin Cendela? Nggak, rumah saya nggak ada AC-nya. Nggak kuat bayar listriknya."
"Kalau banyak orang sakit kayak gini yang untung lak para dokter itu ya Pak Estu?"
"Hush, nggak baik ngomong gitu. Dokter itu lak membantu menyembuhkan orang yang sakit to? Masa mencari keuntungan dari orang sakit."
"Lha kan memang gitu to Pak? Orang sekarang kan sedikit-sedikit ke dokter. Sedikit-sedikit minum obat. Tidak seperti zaman dulu."
"Memang iyo yo. Saya ingat pas masih SD dulu, ketika panas saya cuma diblonyohi minyak klentik yang dicampur bawang merah. Terus dipijit. Sembuh lho."
"Lha nggih. Simbah saya dulu kalau meriang juga cuma kerokan. Pakai minyak tanah terus dikerok pakai benggol. Uang zaman kuno itu."
"Haa iya itu. Sekarang sepertinya orang sudah nggak telaten kerokan yo? Nggak mau ribet terus badan jadi lengket karena balsem."
"Padahal cespleng nggih Pak Estu."
"Haa iyo."
Jam sembilan malam, tiba-tiba ketebang-ketebang Sastro Carik berjalan mendekat ke arah pos ronda.
"Hlooo, Pak Sastro, ngendikane gerah? Katanya sakit, mbok jangan dipaksa lho kalau memang meriang."
"Dipakai diam di rumah kok tambah nggak enak yo? Tak coba keluar saja. Siapa tahu malah bikin enteng di badan."
"Sudah dibawa ke dokter Pak Sastro?"
"Dereng Pak Estu. Cukup minta kerokan ke ibunya tadi."
"Lho...lho...lho. Kok pas dengan yang tadi kita bicarakan ya Pak Estu?"
"Membicarakan apa to Mo?"
"Sebelum njenengan kemari, saya dan Pak Estu ngobrol tentang kerokan itu lho Pak."
"Oalah. Saya itu kalau meriang ya pasti minta kerokan. Wong ya membantu kok."
"Tapi kan nggak semua orang telaten seperti Pak Sastro to? Rata-rata orang itu kalau sakit lak ya ke dokter to? Atau ke apotek beli obat."
"Iya kok. Mungkin orang mikirnya kerokan itu sudah nggak praktis lagi."
"Tur pisan, kerokan itu kan bikin lengket to di punggung. Malah bikin tidak nyaman."
"Padahal di Amerika sana kerokan sekarang malah lagi digemari lho?"
"Haa masa to Pak Sastro? Pengobatan tradisional bin primitif begitu kok malah ngetren di Amerika gimana lho?"
"Yo itulah negara maju Mo. Mereka itu kan apa-apa diteliti to? Lah menurut penelitian ahli, kerokan itu memang bisa menyembuhkan lho. Lha akhirnya mereka melu-melu pengobatan alternatif ini."
"Heladalah. Lha di kita saja sudah mulai ditinggalkan lho."
"Ha mbuh kok kita itu. Kita itu minderan lho. Nggak percaya diri dengan kekayaannya sendiri. Lha begitu diakui negara maju, baru dibangga-banggakan."
"Mungkin itu karena dampak penjajahan ya Pak Sastro?"
"Lha mbok menawi, mungkin saja lho. Kabarnya kita dulu itu kan mengkonsumsi bahan makanan lokal yang lebih sehat. Tapi karena minder dengan nasi putih terus beralih ke nasi putih. Padahal tidak lebih sehat."
"Rumah-rumah tradisional kita itu kan juga terbukti tahan gempa. Tapi yo itu tadi. Kita minder dengan rumah tembok bata. Digantilah dengan rumah tembok bata yang kelihatan lebih mentereng."
"Padahal kalau konstruksinya tidak benar, itu bisa tidak tahan gempa. Wong negara kita itu rawan gempa lho."
"Whoo iya ya. Terus rumah-rumah tradisional seperti joglonya orang Jawa itu banyak yang tidak diurus. Untung kemudian muncul kesadaran dari orang-orang pintar untuk melestarikan rumah tradisional itu."
"Lho iya lho Pak Sastro. Sekarang rumah gebyok joglo itu muahalnya ora umum."
"Makanya kita harus mulai mengedukasi orang-orang untuk terus melestarikan budaya kita sendiri. Lha budaya itu lak karakter kita sendiri dalam pergaulan internasional to? Kalau kita tidak punya karakter sendiri lak yo tidak menarik to?"
"Ha nggih Pak Sastro. Kalau tidak punya karakter kita cuma ela-elu karakter orang lain. Wujude wong Jawa tapi kelakuane koyo landa. Keren ora, wagu iyo."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H