Pagi tadi saya mengobrol dengan teman yang rumahnya jauh di desa, di daerah perbukitan yang tandus. Ia bercerita tentang semakin berkurangnya pasokan air di desanya.
"Sekarang ini, air memanas di desa saya." katanya. Saya tidak paham dengan istilah "air panas" itu. Maka, untuk mengembangkan percakapan saya bertanya kepadanya.
"Maksudmu karena udara yang panas akhir-akhir ini, air di desamu juga ikut memanas?"
"Bukan," jawabnya sambil tertawa. Ia sepertinya sengaja memakai istilah itu untuk mengelabui saya. Dan sekarang ia nampak puas karena niatnya itu berhasil.
"Orang saling berebut air karena air semakin sedikit."
Saya pernah main ke desanya. Semua orang di desanya menggunakan air dari belik (sumber air) yang letaknya jauh di atas bukit. Karena letaknya yang jauh itu, orang-orang mengalirkan air ke rumah masing-masing menggunakan selang yang disambung-sambung.
Saat ini debit air semakin menurun, akibatnya tidak semua selang-selang itu teraliri air. Orang yang tidak kebagian air biasanya akan menyabotase selang yang teraliri air untuk disambungkan ke selang yang menuju rumahnya.
Aksi sabotase ini seringnya tidak diketahui oleh orang lain karena selang-selang itu melewati hutan-hutan yang tidak ada huniannya. Tapi terkadang ada juga yang naas, kepergok ketika memutus selang air tetangganya.
"Kalau kepergok, bisa menimbulkan pertengkaran tidak?" Tanya saya.
"Oh tentu saja."
Saya merasa miris. Kalau air semakin sedikit, akan semakin sering terjadi sabotase. Dan sabotase itu akan menimbulkan pertengkaran yang bisa jadi akan mengarah kepada kekerasan. Saya lalu teringat novel "Dry" yang dikarang oleh ayah dan anak, Neal Shusterman dan Jarrod Shusterman.