Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

esai

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Apa dan Bagaimana Pendapat Para Ahli Mengenai Konflik di Laut China Selatan?

24 Juni 2024   13:07 Diperbarui: 24 Juni 2024   15:32 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Eko Windarto 

Para ahli telah lama memperdebatkan tentang konflik di Laut China Selatan. Beberapa ahli berpendapat bahwa konflik ini disebabkan oleh sumber daya alam yang melimpah, yang menimbulkan persaingan sengit antara negara-negara yang mengklaim wilayah tersebut. Selain itu, masalah kepentingan strategis dan politik juga turut memperparah konflik di Laut China Selatan. Wilayah Laut China Selatan tepatnya terletak di antara Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan China. Negara-negara yang terlibat dalam konflik ini memiliki klaim wilayah yang saling tumpang tindih, yang sama-sama didasarkan pada sejarah, fakta geografis, maupun hukum internasional. Tidak jarang klaim ini menjadi sumber ketegangan dan konflik di antara negara-negara tersebut. Negara yang paling banyak mengklaim wilayah di Laut China Selatan adalah China, yang membentangkan klaimnya hingga mencakup sekitar 80% wilayah tersebut. 

China mengklaim bahwa wilayah tersebut sebagai bagian dari wilayah historisnya berdasarkan bukti dalam sejarahnya yang dikenal sebagai "nine-dash-line". Tetapi klaim tersebut ditantang oleh negara-negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Filipina dan Vietnam juga memiliki klaim yang kuat terhadap sejumlah pulau dan wilayah di Laut China Selatan, yang mereka klaim sebagai bagian dari wilayah nasional mereka. Klaim Filipina didasarkan pada Putusan Pengadilan Permanen Arbitrase pada tahun 2016 yang mengklaim bahwa klaim China terhadap wilayah utara Laut China Selatan melanggar hukum internasional. Vietnam juga mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan sebagai wilayahnya berdasarkan sejarah, budaya, dan geografis. Klaim Brunei, Malaysia, dan Taiwan juga turut menambah kompleksitas konflik di Laut China Selatan. Kedua negara tersebut memiliki klaim yang saling tumpang tindih dengan klaim negara lainnya, yang sama-sama didasarkan pada sejarah, fakta geografis, dan hukum internasional. Persaingan dan ketegangan di antara negara-negara ini semakin memperumit situasi di wilayah ini. 

Upaya untuk menyelesaikan konflik di Laut China Selatan telah diupayakan dengan berbagai cara oleh pihak berwenang, termasuk melalui upaya diplomasi, dialog bilateral, maupun negosiasi multilateral di forum regional seperti ASEAN. Konflik ini diharapkan dapat diselesaikan melalui kerja sama negara-negara yang terlibat. Negara yang paling berkuasa di Laut China Selatan adalah China? Pertama, China memiliki kekuatan militer besar dan kuat. China memiliki angkatan laut yang terbesar di Asia dan memiliki kemampuan untuk memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut melalui basis-basis militer dan instalasi yang telah didirikan di sejumlah tempat strategis. China juga secara aktif melakukan modernisasi dan pengembangan angkatan lautnya, termasuk pengembangan kapal selam nuklir dan kapal induk pertamanya. Kedua, China memiliki ekonomi yang kuat. Sebagian besar perdagangan di wilayah Asia Timur-Laut dan Asia Tenggara melalui rute di Laut China Selatan, membuat China menjadi negara yang mempunyai pengaruh ekonomi yang besar di wilayah tersebut. Selain itu, China juga memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara di wilayah tersebut untuk memperkuat pengaruhnya di Laut China Selatan. Ketiga, China memiliki kebijakan luar negeri yang agresif dan proaktif dalam mengadvokasi klaimnya di wilayah tersebut. China secara terus-menerus melakukan protes dan tindakan militer yang berulang kali menegaskan bahwa mereka memiliki hak kepemilikan wilayah tersebut baik dengan menempatkan basis militer maupun dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya secara berkala. China juga menolak telah mengakui Putusan Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2016 yang mendukung klaim Filipina atas sejumlah pulau di Laut China Selatan dan masih berpegang pada klaim "nine-dash line" nya. Namun, kekuatan China juga dihadapkan pada tantangan-tantangan yang signifikan. Kebijakan luar negeri China yang terkesan agresif dalam mengklaim klaim-klaimnya di Laut China Selatan cenderung mendapatkan kecaman negara-negara lainnya di wilayah ini, terutama negara-negara yang sempat tersengat klaim China. Konsekuensi dari sikap ini adalah memperburuk ketegangan dan konflik dan memberikan dampak negatif bagi citra China dalam hubungan dengan negara-negara lain di wilayah itu. Selain China, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia juga memiliki pengaruh dan kepentingan di wilayah tersebut, terutama dalam konteks keamanan maritim dan stabilitas regional. Namun, China tetap dinilai sebagai negara yang paling berpengaruh di Laut China Selatan. Upaya untuk menanggapi klaim China di Laut China Selatan telah dilakukan oleh sejumlah negara, baik melalui tindakan diplomatik maupun keamanan. Beberapa upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut: Penguatan kerja sama bilateral Beberapa Negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan seperti Filipina, Vietnam dan Malaysia membentuk kerja sama bilateral dalam berbagai bidang, termasuk militer dan keamanan, melalui kerja sama ambang bilateral mereka. Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan negara mereka dan mengurangi ketergantungan mereka pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

 Pembentukan forum regional Negara-negara telah membentuk beberapa forum regional seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), East Asia Summit dan ASEAN Regional Forum sebagai platform untuk menangani konflik di Laut China Selatan. Melalui forum ini, negara anggota berupaya untuk meningkatkan dialog, kerja sama dan membangun kepercayaan antar negara anggota untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan secara damai. Upaya hukum internasional Beberapa negara telah mencoba menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan melalui jalur hukum internasional. Filipina, misalnya, telah mengajukan permohonan ke Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) pada tahun 2013 untuk meminta klaim China yang didasarkan pada "nine-dash line" nya sebagai tidak sah berdasarkan hukum internasional. Kontak diplomatik Terdapat upaya diplomasi untuk mengetahui pendapat China mengenai sengketa di Laut China Selatan, seperti kunjungan yang dilakukan oleh Sekretaris Pertahanan AS Jim Mattis pada awal tahun 2017 dan upaya-upaya dialog dari negara-negara lainya juga dilakukan segera menyusul. 

Patroli keamanan Negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia memiliki kepentingan keamanan di Laut China Selatan dan melakukan patroli keamanan dan latihan bersama di wilayah tersebut. Sementara itu, India dan Jepang juga meningkatkan patroli keamanan mereka di wilayah Laut China Selatan. Meningkatkan Peran ASEAN ASEAN merupakan salah satu organisasi regional yang berperan sentral dalam mempertahankan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, ASEAN dapat menjadi wahana kerja sama negara-negara yang terlibat konflik di Laut China Selatan. ASEAN selama ini berupaya mengambil peran mediator dan memfasilitasi kerja sama dalam mengatasi konflik. 

Meskipun upaya ini dianggap efektif untuk mengurangi ketegangan dan konflik di Laut China Selatan,.Upaya-upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil mengatasi perselisihan di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh sifat yang rumit dan multifaset dari konflik, serta kurangnya kesepakatan antarnegara mengenai masalah kepemilikan wilayah dan sumber daya alam di wilayah tersebut. Namun, hingga saat ini, upaya-upaya tersebut masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Ketegangan di Laut China Selatan masih terus berlangsung dan mungkin akan terus berlanjut di masa yang akan datang, karena tidak adanya kesepakatan yang kuat mengenai masalah kepemilikan wilayah dan sumber daya alam di wilayah tersebut. Dusun Sekar Putih, 2462024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun