Oleh: Eko WindartoÂ
Sebelum menjawab mengapa baru saat ini sastra masuk dalam kurikulum pendidikan, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana sejarah perkembangan sastra di Indonesia. Sastra Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda, dimana sastra aktif berkembang untuk mengembangkan lingkungan intelektual bangsa. Beberapa tokoh vital seperti Chairil Anwar, Usmar Ismail, dan Sanusi Pane berhasil menginspirasi banyak generasi berikutnya menjadi pejuang kebebasan dan toleransi.
Pada masa Orde Baru, sastra digunakan sebagai alat propaganda politik. Pemerintah saat itu berusaha memaksakan agar sastra dalam naungan aspek Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keberhasilan pemerintahannya. Secara tidak langsung, orang-orang beranggapan bahwa sastra memberikan pengaruh negatif pada generasi muda yang cenderung mempertanyakan arah politik pemerintahan tersebut. Oleh karena itu, sastra menjadi diabaikan dari kurikulum pendidikan di Indonesia.
Pada akhir Orde Baru, masalah ini mulai diperbaiki oleh pemerintah. Sastra mulai dianggap sebagai instrumen untuk membangun wawasan nasional dan memperkuat identitas bangsa Indonesia. Di era Reformasi, sastra resmi masuk dalam kurikulum pendidikan Indonesia, khususnya pada kurikulum di Sekolah Menengah Atas. Kehadiran sastra dalam kurikulum didasarkan pada keyakinan bahwa sastra memiliki manfaat yang signifikan dalam membangun nasionalisme, mempererat kebersamaan dan memperkaya khazanah budaya bangsa.
Tampaknya, pemilihan untuk memasukkan sastra dalam kurikulum pendidikan terkait dengan perkembangan politik di Indonesia. Sejak kedatangan Joko Widodo di periode kepresidenannya pada 2014, kebijakan pemerintah dalam pendidikan diarahkan untuk memperkuat kurikulum dan meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan adalah dengan memperbaiki kualitas kurikulum pendidikan nasional.
Pada 2019, Kemendikbud merilis kurikulum 2013 revised 2019. Pada kurikulum tersebut, pengajaran sastra di sekolah-sekolah menengah berfokus pada pengembangan empat kompetensi: interpertasi, analisis, evaluasi, dan apresiasi karya sastra. Oleh karena itu, pengajaran sastra kini memiliki orientasi yang sangat berbeda dari masa sebelumnya, yaitu lebih berorientasi pada pengembangan kompetensi daripada pengetahuan.
Namun, masalah yang masih muncul adalah jumlah karya sastra yang dijadikan bahan ajar di kurikulum pendidikan nasional masih sangat terbatas. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan sastra yang sangat melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memperluas cakupan sastra dalam kurikulum pendidikan dan menambah kualitas dalam pengajaran sastra itu sendiri. Diharapkan, sastra akan menjadi sumber daya nasional yang dapat mengembangkan pikiran dan keterampilan generasi muda Indonesia.
Dalam berbagai konteks, khususnya dalam pendidikan, membaca karya sastra dianggap dapat menghasilkan keterampilan kognitif dan sosial, seperti: kemampuan membaca, kemampuan menjelaskan, kemampuan berbicara dan berpendapat, kemampuan menulis, kemampuan untuk bekerja sama, dan kemampuan empati sosial. Oleh karena itu, sastra dianggap sebagai kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh setiap orang, dan sangat penting untuk memasukkannya dalam kurikulum pendidikan.
Di dalam kurikulum pendidikan nasional Indonesia, karya sastra yang diajarkan biasanya terbagi dalam tiga kategori besar, yaitu karya sastra Indonesia, karya sastra daerah, dan karya sastra dunia. Beberapa contoh karya sastra yang masuk dalam kurikulum tersebut diantaranya adalah:
Karya sastra Indonesia:
"Sang Pemimpi" dan "Edensor" karya Andrea Hirata