Oleh: Eko Windarto
Mengapa Islam masuk ke Indonesia berjalan mulus, dan kemudian bertahan, bahkan kini Indonesia merupakan negeri dengan umat Islam terbesar di dunia? Alwi A. Shihab, seorang wiraswastawan Indonesia yang tertarik mempelajari Islam, punya jawaban menarik. Kata dia, itu karena Islam yang masuk ke Nusantara banyak diwarnai oleh tasawuf.
Para sufi (pemeluk tasawuf) yang membawa Islam ke Indonesia itu berbicara dengan bahasa yang bisa dipahami dan diterima oleh semua agama dan aliran. Misalnya, mereka tak lalu memusuhi wayang, yang jelas-jelas pada awalnya menyiratkan spirit Hindu. Justru, dengan cerdik, mereka menyelipkan ajaran dan semangat Islam ke dalam wayang, dan mengajak para penonton pertunjukan wayang masuk Islam.
Ajimat Pandawa Lima yang disebut kalimosodo tak ada dalam naskah Mahabharata yang asli India. Menurut orang Jawa, kata kalimosodo itu mengacu pada "kalimat syahadat." Untuk memperoleh banyak pengikut itulah Muhammad Jailani yang datang ke Aceh dari Gujarat terpaksa balik ke Mekah. Ia terpaksa belajar tasawuf dulu, baru kemudian kembali ke Aceh untuk menyebarkan Islam. Dan ternyata memang kemudian ia mendapat banyak pengikut.
Indonesia adalah surga sufi. Beragam aliran berkembang dan pengikutnya diperkirakan lebih dari tujuh juta orang. Setiap tahun, ribuan sufi dari seluruh dunia berkumpul di Indonesia. Mereka tidak bicara soal kesesatan, mereka lebih memilih bercakap-cakap soal cinta kasih sembari mencari titik-titik temu antar beragam keyakinan Indonesia menjadi surga bagi para sufi.
Jutaan orang menjadi pengikut aliran yang sering disebut sarjana barat sebagai mistikus Islam: mereka yang lebih mengedepankan batin dalam mendekati Tuhan.
Tasawuf Memberi Keseimbangan Hidup
Kecenderungan kehidupan yang berlatar belakang falsafah kapitalisme bukan saja menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah materialistik-hedonistis, tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan dalam masyarakat. Kehidupan manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada lagi harapan dan cinta dalam kehidupan seharian.
Berdasarkan hal ini, modernisme dilihat gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia, sehingga keadaan ini telah menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah spiritualisme Muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spiritual para sufi. Ini karena jalan itu dirasakan amat releven dengan kehidupan.
Dalam suasana transendensi, seorang sufi mengalami suasana realita yang baru, yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat, dan rakus. Dengan menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan.