Oleh: Eko Windarto
Sebelum terimplisit upaya menyederhanakan batasan mengenai sastra atau pusai selalu dihadapkan pada hal yang paradoksal. Padahal maksud untuk menyederhanakan bukanlah mencerminkan sikap meluputkan pusai sebagai karya seni seperti seni pada tanaman bonsai, apalagi hendak melepaskan kerangka berpikir kesenian. Sebab bagaimanapun juga pembicaraan mengenai pusai adalah pembicaraan di dalam kerangka seni itu sendiri.Â
Pandangan itu menyebutkan bahwa sesungguhnya kesenian merupakan salah satu kebutuhan manusia yang universal. Pandangan ini tidak salah dan mungkin juga tidak benar. Dikatakan tidak salah oleh karena adanya kenyataan, bahwa tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang tidak menyediakan waktunya untuk kesenian. Kesenian selalu di pandang sebagai pranata yang mampu memberikan perasaan -kagum- atau -rasa haru- sebab karya seni seperti pusai dipandang mengandung nilai estetik.
Persoalannya makin komplek, apakah karya pusai yang mengandung nilai estetik selalu mampu membuat manusia terharu atau kagum? Jawabnya bisa ya dan dapat pula tidak, sebab tidak semua karya pusai mengandung nilai estetik, di satu pihak dan di pihak yang lain tidak ada nilai estetik di satu pihak dan di pihak lain tidak ada nilai estetik yang bersifat universal, yang menembus batas ruang dan waktu. Universalitas seni atau karya pusai hanya karena ada dalam masyarakat macam apa pun. Artinya seni atau karya pusai adalah sesuatu yang dapat membangkitkan perasaan menyenangkan ( pleasurable sensations ). Sebelum melanjutkan pembicaraan mengenai pusai, tidak ada salahnya ditampilkan dulu satu karya pusai sebagai hasil seni menulis seperti di bawah ini.
CERMIN
Cermat melihat wajah
Sekarputih, 2312019
Bagi filsuf kontemporer Perancis, Imanuel Levinas, wajah menyimpan  banyak  makna. Pembenahan sengkarut politik dan kemanusiaan harus dimulai dari  penataan wajah. Wajah sebagai  roh untuk mewujudkan persaudaraan universal dan  penggerak utama tergelarnya persatuan, perdamaian, dan  keadilan.
Wajah sebagai ekspresi epifeni ilahi. Wajah menjadi alamat utama keharusan kita  memperlakukan orang lain dengan penuh respek dan rasa tanggung jawab. Wajah yang tidak membunuh dan nyinyir bagi mereka yang berlainan, baik keyakinan, budaya, maupun etniknya.
Selama ini, diakui atau tidak, wajah dan perpolitikan kita justru menemukan gejala yang bopeng. Sering kali kita begitu cermat melihat wajah yang kita miliki dari cermin yang setiap hari dibawa, tetapi pada saat yang sama tidak sedia menggunakan cermin lain, apalagi mau keluar melihat wajah orang lain dengan respek.
Politik itu menjadi negatif karena adanya sikap keengganan membuka diri. Orang lain dianggap berguna manakala bisa dijadikan sekedar konstituen, kader, atau dapat dipastikan menjatuhkan pilihan pada dirinya saat pemilu atau pilkada. Liyan dalam politik yang telah melenceng dari khitahnya melulu diposisikan tak lebih hanya angka yang bisa dikonversikan dengan benda dan kekuasaan, dan kartu tanda penduduk yang dapat dihimpun untuk melengkapi administrasi politik.