Oleh: Eko Windarto
Jika kita mendekati puisi atau karya sastra melalui sosiologi sastra, maka sastra merupakan perhatian terhadap potret fenomena sosial. Pada hakekatnya, fenomena sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Sebab fenomena sosial itu bisa diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif berupa; pengamatan, analisis, interprestasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya dalam berbentuk karya sastra seperti puisi, cerpen, novel dsb. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencapup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antara manusia dan peristiwa yang terjadi dalam batin penyair atau sastrawan. Maka, memandang puisi atau karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia.
Penyair dan sastrawan merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada di sekelilingnya, maka dalam proses penciptaan puisi atau karya sastra seorang penyair dan sastrawan tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, puisi atau karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan penyair dan sastrawan tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Oleh sebab itu mengamati atau memasuki sosiologi kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang sangat diperlukan oleh anak-anaknya pada era yang penuh dengan persaingan sangat sengit ini, yang mana masyarakat ibu-ibu yang bekerja bertambah sibuk dengan usaha mencari nafkah bagi meningkatkan taraf hidup masing-masing. Hal ini disebabkan kos cara hidup masa kini yang semakin meningkat. Statistik ibu yang bekerja hanya bercakap dengan anak-anak mereka selama beberapa menit sehari. Masalah ini merupakan kenyataan atau perkara yang amat menyedihkan karena anak-anak merupakan manusia atau golongan yang memerlukan kasih sayang dan perhatian secukupnya dari pada ibu bapa mereka. Oleh karena itu, demi membentuk keluarga yang bahagia, ibu merupakan peneduh dan sorga kehidupan dalam sebuah keluarga yang perlu meluangkan waktu yang sebaik mungkin untuk bersama-sama  dengan anak-anak mereka, seperti yang tertuang dalam gambaran puisi Edi Kuswantono di bawah ini.
SETETES ASI
Karya : Edi Kuswantono
Ibu..! Kau adalah segalanya
Engkau telah memberi semua
Bagi mereka yang butuh menerima
Adalah harta kasih sayang paling berharga
Asimu adalah hak anak-anakmu
Adalah kewajiban dini hari-harimu
Benih tumbuh melestarikan asamu
Agar dewasa nanti jadi taman surgamu
Setetes asi darimu sebuah kehidupan
Langkah anak-anakmu ke masa depan
kebebasan belenggu dari kematian
Saat buih merampas kemerdekaan
Bagi sang ayah pelindung keteguhan
Ibu ...! Deritamu larungkan segera
Anak-anakmu menunggumu di muara
Karena engkau penuntun di samudera
Tempat asal usul kasih sayang berada
Bwi, 300918
Memasuki puisi SETETES ASI, kita akan dibawa menelusuri permenungan sangat mendalam. Dimana judul itu sendiri telah mencakup banyak makna. Setetes asi memang hak bagi anak-anak bangsa ini. Kebaikan dan keburuk itu sebagian juga dari setetes asi seorang ibu yang harus menyusui selama dua tahun. Saat sekarang ini di zaman yang serba praktis dan konsumtif bagi seorang ibu juga dituntut untuk mandiri demi menunjang perekonomian keluarga. Tapi, kadang mereka lupa pada hak seorang anak yang masih membutuhkan asi dan kasih sayang diabaikan demi mengejar materi dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Itulah hidup di zaman melenial. Serba cepat dan praktis!