Oleh: Eko Windarto
Bagi seorang penyair suasana hujan bisa menjadi kaca pembesar untuk meneropong hujan di luar rumahnya. Hal yang terlihat kecil bisa menjadi besar di tangan penyair Agung Pranoto. Mari kita telusuri puisinya seperti di bawah ini.
MEMBACA HUJAN
Oleh: Agung Pranoto
Hujan bukanlah kebencian pada matahari
namun kesetiaan pada musim semi
atau satu cara mengatur matarantai
Hujan serupa burung di negeri satwa
atau laksana kanak-kanak
memainkan tradisi lama
saat bulan purnama
Hujan serupa senyum petani
saat tanam tiba
atau seperti binar sesiapa
saat berasmaragama
Hujan menyempurnakan pertumbuhan semesta
yang mengalirkan darah-darah pujangga
Surabaya, 1 Februari 2017
Rupanya sang penyair sengaja memakai bahasa sederhana, meski isinya tak sesederhana yang kita bayangkan. Sangat terlihat ia memberi ruang bagi pembaca untuk membuka atau membedah isi yang demikian inten dalam diksi-diksinya bila dikaitkan dengan hujan yang bisa mengembangkan metafora- metaforanya.
Coba kita bayangkan / hujan bukanlah kebencian pada matahari/ namun kesetiaan pada musim semi/ atau satu cara mengatur matarantai/. Jelas di situ penyair mencoba menggambarkan keseimbangan alam semesta. Semua itu adalah matarantai kejadian alam demi untuk memenuhi kebutuhan bagi kehidupan manusia, tumbuhan, hewan-hewan dll.