Mohon tunggu...
eko wahyu
eko wahyu Mohon Tunggu... -

Satu Hati Satu Cinta Satu Jiwa Satu Tekad Satu Perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Stop Kekerasan Terhadap Wartawan

9 September 2010   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan terhadap wartawan atau jurnalis kembali terjadi di negeri kita. Tewasnya Ridwan Salamun,Wartawan Sun TV di wilayah Tual Maluku Tenggara, saat bertugas meliput perkelahian antarkelompok masyarakat pada hari Sabtu (21/8) lalu menambah daftar panjang tindak kekerasan terhadap Jurnalis. Ridwan tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit akibat luka karena tebasan parang di kepalanya dan kepala bagian belakang yang remuk akibat hantaman benda tumpul. Saat itu korban sedang meliput bentrokan antara warga kompleks Banda Eli dan warga Dusun Mangun, Desa Fiditan Tual, ketika itu salah seorang kelompok warga yang bertikai menyabetkan parang ke kepalanya.

Tewasnya Ridwan Salamun, kontributor Sun TV menimbulkan duka dan keprihatinan mendalam, terutama dari kalangan jurnalis. Dia dianiaya dengan senjata tajam manakala bertugas meliput konflik massa di Tual, Maluku. Aksi Solidaritas para wartawan atas tewasnya Ridwan Salamun terus mengalir di berbagai daerah di Indonesia. Wartawan Indonesia mengecam keras tindakan anarkhis yang dilakukan oleh salah satu kelompok yang bertikai di Tual Maluku Tenggara dan mendesak agar pihak kepolisian mengusut tuntas kasus dan menangkap pelakunya.

Kejadian ini bukanlah kali pertama menimpa jurnalis Indonesia, kasus serupa juga pernah terjadi di dalam daerah konflik seperti yang dialami wartawan RCTI Ersa Siregar, yang tewas diterjang peluru saat menjalankan tugas meliput konflik bersenjata antara TNI dan GAM.

Belum lagi peristiwa penyanderaan dua wartawan Metro TV dalam konflik di Irak, presenter Meutia Hafidz dan juru kamera Budiyanto. Selain itu kita juga masih ingat tewasnya wartawan Lativi (sekarang bernama TV One), Suherman dan juru kamera SCTV Muhammad Guntur manakala meliput tenggelamnya kapal Levina tahun 2007, dan yang paling baru adalah kasus penganiayaan dan ancaman Dandim 0727 Karanganyar, Letkol (Inf) Lilik Sutikna terhadap Wartawan Harian Solopos, Triyono, yang terjadi Rabu (1/9) terkait pemberitaan yang mengabarkan fakta di persidangan pengadilan yang menyebutkan Kodim Karanganyar diduga mendapat sejumlah dana dari hasil korupsi yang diduga dilakukan Bupati Karanganyar, Rina Iriani dalam kasus proyek pemugaran dan pembangunan rumah bersubsidi tahun 2007 dan 2008.

Inilah profesi wartawan, terutama dalam konteks wilayah konflik atau bencana yang nyata-nyata teramat rawan dan berisiko tinggi terhadap keselamatan. Wartawan memang wakil publik dalam mencari informasi yang diakui dan dijamin tidak saja sebagai hak konstitusional dalam UUD, namun juga sebagai hak asasi manusia dalam berbagai deklarasi dan perjanjian internasional hak-hak asasi manusia. Negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak ini yang diwujudkan lewat upaya legislasi ataupun delegislasi demi terpenuhinya hak ini. Dalam konteks hukum media, perlindungan tidak saja diberikan agar jurnalis memiliki akses seluas-luasnya mencari informasi, namun juga perlindungan terhadap aktivitasnyaitu termasuk seorang wartawan yang tewas dalam melaksanakan tugasnya dalam mencari informasi.

Wartawan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, dan ini tertuang dalam Pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal tersebut berisi tentang perlindungan hukum merupakan jaminan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Jika ini semua dikaitkan dengan wartawan yang bertugas di area konflik ataupun bencana, tidak ada satu pasal pun dalam UU Pers yang mewajibkan perusahaan pers untuk memberikan peralatan standar keselamatan, asuransi, ataupun skill bagi wartawan yang ditugaskan. Kalaupun ada standar perlindungan wartawan seperti itu, ketentuan ini hanya tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 5/Peraturan-DP/IV/2008 yang sekali pun cukup apik merinci hal-hal terkait perlindungan wartawan, tak lebih daridokumen etik yang tak memiliki kekuatan hukum mengikat yang dapat dipaksakan. Sungguh sangat disayangkan jika pada kenyataannya Wartawan tidak mendapatkan perlindungan keselamatan jika harus bertugas di daerah konflik ataupun di daerah bencana. Keselamatan wartawan harus dibayar mahal dengan menyerahkan permasalahan yang amat krusial yang semata-mata memiliki“kemurahan dan kebaikan hati’’ masing-masing perusahaan media tempat wartawan bekerja.

Tewasnya Ridwan beberapa waktu lalu, menunjukkan betapa pahitnya bekerja di dunia jurnalistik di Indonesia. Kita semua berharap agar peristiwa seperti ini jangan lagi terulang, namun kenyataannya harapan kita hanyalah mimpi karena dimana-mana tindakan anarkhis ataupun kekerasan terhadap wartawan terus saja terjadi. Sudah saatnya pemerintah bersama DPR merevisi UU Pers agar lebih berpihak kepada kepentingan dan keselamatan wartawan, terlebih ketikabertugas di daerah konflik. Semoga harapan kita akan pentingnya keselamatan dan perlindungan hukum bagi wartawan dapat segera mendapat perhatian dari pemerintah maupun wakil rakyat. Tentunya tidak hanya janji-janji palsu dan hanya dimulut saja.

Kiriman : Andreas Eko Wahyu S

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun