Indonesia pernah memiliki seorang Menteri Luar Negeri yang hidup 'nomaden' alias tempat tinggalnya tidak menetap. Dia adalah Haji Agus Salim, yang oleh Anies Baswedan dalam Agus Salim : Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakkan, mengisahkan sang guru bangsa tersebut hidup berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.Â
Haji Agus Salim tampaknya menghayati betul nilai perjuangan yang dipercayainya, lieden is lijden (memimpin itu menderita). Tak jarang kontrakan yang ditempat Haji Agus Salim bersama keluarganya jauh dari kata layak, WC yang mampet atau genteng bocor kerap mereka rasakan, sehingga harus menggulung alas tidur agar tidak basah.
Di Stadion Kridosono, seorang Raja dan Wakil Presiden Indonesia kedapatan mengenakan kaos kaki bolong. Ia adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Meski memiliki posisi penting sebagai Raja maupun Wakil Presiden, HB IX tetap hidup dalam kesederhanaan. Tokoh yang bernama kecil Dorojatun ini selain dikenal sederhana juga dekat dengan rakyat. Tidak segan untuk memberi tumpangan kepada pedagang pasar atau pun menolong mereka dengan mengangkatkan barang dagangan.
Di bagian lain di Yogyakarta, seorang tokoh bangsa tetap berkhidmad menjadi guru di Sekolah Swasta dengan upah seadanya. Ia adalah Ki Bagus Hadikusuma. Tak jarang, untuk biaya perjalanannya berdakwah keluar kota, ia bersedia membawa barang dagangan untuk kemudian dijual. Sebagai sosok yang mencintai ilmu dan pendidikan, semangat itu ia tularkan kepada putra-putrinya, sehingga mereka pun menempuh jalan yang sama. Menjadi guru swasta dengan gaji tak seberapa.Â
Dan masih banyak lagi tokoh bangsa yang rela hidup sederhana, bukan karena terpaksa melainkan kehidupan yang mereka pilih selaras dengan mereka punya jiwa. Tidak elok, jika mereka bermewah sedang rakyat dalam keadaan susah. Ada Mohammad Hatta yang sampai akhir hayat tidak keturutan membeli sepatu impian. Ada pula Mohammad Natsir sang Perdana Menteri yang biasa mengayuh sepeda onthel ke pergi-pulang ke kontrakan. Atau Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara yang tak mampu membeli kain popok untuk anaknya.
 Kini, para pemimpin negeri ini sedang diuji. Bukan lagi kekurangan dan kemiskinan. Melainkan kelebihan dan kekayaan. Bagaimanakah mereka akan menggunakan. Apakah kekuasaan akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atau sebaliknya, hanya untuk kepentingan golongan sendiri. Langkah dan kebijakan mereka kini diuji. Agar tidak Setengah Hati Antikorupsi karena perilaku korup merugikan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H