Oleh: Eko WindartoÂ
Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik. Sejak zaman Yunani, Aristoteles telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep: wholeness, unity, complexity, dan koherence. Hal ini merepresentasikan bahwa keutuhan makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra. Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna.Â
Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa pararelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan. Sebagai contoh, kata manis baru bermakna lengkap ketika dipertentangkan dengan kata pahit. Ini berarti bahwa struktur sastra memiliki fungsi.
Menurut Jean Peaget (Hawkes, 1978:16) strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam artian bahwa bagian-bagian atau unsur menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah instrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan tranformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal diluar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Paham strukturalisme, secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya telah menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau seperti yang dikemukakan Luxemburg (1989) tentang signifiant-sgnifie dan paradigma-syntagma. Kedua unsur itu selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan. Karenanya, kedua unsur penting ini tak dapat dipisahkan dalam penafsiran sastra.
Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (form) dan isi (content) atau makna signifikan yang otonom. Artinya, pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja, pemahaman harus mampu mengaitkan kebertautan antara unsur pembangunan karya sastra. Kebertautan unsur itu akan membentuk sebuah makna utuh. Berarti prinsip menyeluruh sangat dipegang oleh kaum strukturalis.
Pentingnya Memahami Konsep "Sign" dan "Meaning" dalam Penafsiran Sastra
Dalam analisis karya sastra, pemahaman konsep "sign" dan "meaning" sangat penting untuk dapat mengungkapkan makna dan nilai estetik sebuah teks. "Sign" mengacu pada tanda atau bentuk fisik dari sesuatu yang diamati dalam teks sastra, sedangkan "meaning" merujuk pada makna atau isi yang terkandung di dalamnya. By memahami hubungan antara "sign" dan "meaning", pembaca atau peneliti dapat menjelajahi lapisan-lapisan makna yang tersembunyi dalam karya sastra, serta mengapresiasi keindahan dan kompleksitas struktur yang diciptakan oleh pengarang.
Dengan demikian, pemahaman konsep-konsep strukturalisme dalam kajian sastra, hubungan dengan paham penulis Paris dan kontribusi Ferdinand de Saussure dalam pengembangan teori linguistik, serta pentingnya memahami konsep "sign" dan "meaning" dalam penafsiran sastra dapat memberikan wawasan yang lebih dalam dan komprehensif dalam menghargai keunikan dan kompleksitas karya sastra sebagai sebuah bentuk seni yang mempesona.
Aplikasi strukturalisme dalam karya sastra modern menghadirkan pendekatan analisis yang dapat membantu pembaca dan peneliti untuk memahami karya sastra kontemporer dengan lebih mendalam dan komprehensif. Berikut adalah beberapa contoh aplikasi strukturalisme dalam karya sastra modern: