September Kelabu bagi dunia pendidikan Jawa Timur, dengan munculnya gambar Maria Ozama (Miyabi), di salah satu Lembar kerja Siswa (LKS) untuk mata pelajaran Bahasa Inggris di SMP Islam Brawijaya dan SMP Negeri 1 Sooko Mojokerto. Kok bisa artis film panas ini menjadi salah satu pilihan pengetahuan yang harus dikehui siswa SMP. Heboh, semua pihak bersuara sumbang, dunia pendidikan kembali kecolongan dengan hal yang berbau pornografi ?. Setelah saling melempar kesalahan, mulai dari Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Penerbit dan terakhir yang disalahkan dan dijatuhi hukuman adalah LKSnya, tidak cukup hanya ditarik dari para siswa, LKS tersebut juga perlu sampai dibakar.
Setelah saling menyalahkan, setelah membakar LKSnya terus apa ? apakah masalah ini selesai begitu saja ? bagaimana dengan siswa-siswa SMP yang awalnya “bodoh” dan tidak sesuai dengan standar kompetensi LKS tersebut, lalu karena mengikuti kompetensi yang disepakati oleh sekolah menjadi “pintar” dan tahu siapa Miyabi. Setelah “pintar” apa mereka tidak ingin meningkatkan kompetensinya menjadi “sangat Pintar”, lalu berusaha dengan semangat “45” untuk mengetahui secara detail bagaimana sih Miyabi kalau lagi action. Tidak sulit bagi anak SMP yang “sangat pintar” untuk mendapatkan file-file Miyabi in action, dunia internet begitu mudah di akses oleh mereka. Saat mereka mencapai tahap selanjutnya menjadi “jenius” dan melakukan learning by doing siapa yang bertanggung jawab ?
Memahami masalah ini secara sederhana, bahwa ini hanya kesalahan cetak biasa, ini hanya masalah keteledoran biasa. Dan, seperti biasa, ini hanya perlu diramaikan sesaat, dicari kambing hitam yang memang hitam atau di buat hitam, lalu selesai, titik. Luar biasanya banyak masalah besar bangsa ini yang diselesaikan dengan cara tersebut, bahkan karena seringnya cara ini di lakukan, bangsa Indonesia dicitrakan sebagai bangsa pelupa, mungkin suatu saat lupa bisa dijadikan salah satu advis dalam khasanah problem solving di Indonesia.
Sudah saatnya habit ini dirubah, kebetulan yang ketiban sampur adalah dunia pendidikan. Tempat dimana harapan untuk Indonesia yang lebih baik disandarkan. Tempat yang mempunyai mantra sakti yang tidak lekang oleh waktu, Tut Wuri handayani. Bahkan dalam lembaran negara di UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 sampai diperjelas tentang definisi pendidikan yaitu : “adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat”. Sangat mulia bukan dunia pendidikan ?
Alangkah lebih bijak bila dunia pendidikan saat ini menerapkan secara utuh, dasar-dasar utama untuk seorang pendidik, sebagaimana yang dulu dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantoro. Ing Ngarso Sun Tulodo ( di depan memberi contoh), Ing Madyo Mangun karso ( di tengah memberi semangat), dan Tut Wuri Handayani ( di belakang memberi dorongan). Dengan memberi contoh kepada bangsa ini bagaimana memetakan masalah, bagaimana menyelesaikan suatu masalah dan bagaimana mengantisipasi dampak masalah.
Pendidik juga manusia, kalimat ini akan bisa menjadi pembuka awal menyelesaikan masalah LKS Miyabi secara bijaksana. Mengapa ? kalau dunia pendidikan merasa, mereka bukan manusia, pasti yang muncul adalah bahwa mereka selalu benar, kalau masih manusia, selain benar kadang kala mereka juga bisa khilaf, tanpa keberanian untuk mengakui kesalahan, mustahil akar masalahnya ditemukan.
Mengapa pendidik bisa memuat foto Miyabi sebagai salah satu pengetahuan yang harus diketahui oleh siswa SMP ? ada banyak kemungkinan, ada banyak jawaban, untuk pastinya, yang paling mengetahui adalah pendidik yang terlibat langsung dalam pembuatan LKS tersebut. Kalau kemungkinan karena pendidik yang terlalu capek mencari sampingan pekerjaan lain, guna menutupi kebutuhan rumah tangganya, rasanya perlu dikesampingkan, sebab saat ini dunia pendidikan mendapat limpahan materi yang luar biasa, pemandangan parkiran sekolah dihiasi sepeda motor butut para pendidik adalah cerita masa lalu pengantar tidur.
Atau jangan-jangan pendidik juga seperti salah satu oknum politisi di Dewan terhormat, yang kalau mempunyai waktu menikmati film-film XXX, sehingga saat membuat soal untuk lembar kompetensi siswanya, alam bawah sadarnya “sengaja” memunculkan ikom gambar Miyabi sebagai bagian pilihan soal. Dan, kelaka Kalau diketahui bahwa kaum pendidik banyak yang menjadi pelanggan seri-seri Miyabi, itu bukanlah hal yang mengejutkan, sebab fenomena ini seperti sebuah gunung es, satu dua orang yang kelihatan, puluhan bahkan ratusan lainnya ada cuma tidak terlihat.
Banyak lagi kemungkin-kemungkinan yang muncul terkait mengapa foto wanita cantik, seksi dan senyum nakalnya yang khas bisa muncul di LKS siswa, yang pasti, Dinas Pendidikan harus bisa bersikap kesatria, sebagai mana institusi kepolisian yang berani berkata bahwa mereka memang salah menangkap terduga teroris. Mereka harus berani mengakui bahwa ada kesalahan dalam manajemen pendidikan mereka, setelah mengakui ada kesalahan, mereka juga harus meminta maaf atas insiden ini. Tanpa pengakuan dan permintaan maaf secara tulus dari Dinas pendidikan, kasus ini hanyalah angin lalu di tengah dekadensi moral bangsa.
Dengan semakin bagusnya sistem reward bagi dunia pendidikan, tidak ada salahnya sekarang masyarakat juga menuntut adanya punishment yang mendidik, apabila ada kalangan pendidik melakukan sebuah kesalahan, apalagi bila dampak sistemik dari kesalahan itu menyangkut moralitas anak bangsa. Siapapun yang terlibat dan apapun peran mereka, hingga LKS itu bisa lolos dan diterima oleh siswa, harus mendapatkan hukuman. Ganjaran atas apa yang mereka lakukan tidak harus melalui hukum formal, hukuman organisasi pun sudah lebih dari cukup. Punishment ini harus ada dan ditunjukkan secara transparan ke publik. Organisasi apapun bila hanya mendapat reward tanpa mendapat Punishment akan berjalan abnormal, dan berlahan-lahan menjadi sebuah “kerajaan”, tidak bisa disentuh, salah benar tetap benar.
Setelah itu semua pihak yang berkepentingan bisa duduk bersama, meminimalkan dampak insiden tersebut. Peran orang tua sangat besar, sehingga kesalahan ini bisa diketahui oleh publik. Alangkah lebih baik peran orang tua lebih ditingkatkan lagi di sekolah-sekolah, bukan hanya sebagai panitia saweran dari para orang tua murid, untuk peningkatan kesejahteraan kepala sekolah dan para guru, tapi terlibat secara aktif dalam pembahasan kurikulum yang dipakai dan segala hal yang diperlukan untuk tercapainya target yang diinginkan. Paling penting, pihak pendidik, mulai dari dinas pendidikan hingga sampai para guru, harus di beri kesempatan sebesar-besarnya dan dukungan penuh untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan sebagai mana yang di atur oleh UU. Kehancuran suatu negara dimulai dari kehancuran para pendidiknya dan kemajuan suatu negara pasti diawali dan dikawal oleh para pendidik, dengan tetap memberikan pengawasan kritis, sebab guru juga manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H