Mohon tunggu...
Eko Supraptio
Eko Supraptio Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Republik Indonesia..!! Kemaren, Saat ini, Esok dan Selamanya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Indonesia (Sebuah Catatan Pengantar)

4 Februari 2012   19:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, ketika memproklamasikan kemerdekaan, terdiri dari berbagai komunitas agama dan entitas budaya yang bersatu padu membentuk sebuah negara yang berdiri diatas semua golongan. Segala macam bentuk primordialisme ditanggalkan demi terciptanya sebuah negara yang kuat dan kokoh menghadapi dampak kolonialisme berkepanjangan. Fenomena pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia, pada satu dimensi mencerminkan pola kehidupan yang harmonis, moderat dan elegan yang menampilkan kontruksi sosial-budaya. Sehingga dapat hidup berdampingan dan tidak saling berbenturan.

Secara historis, terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak bisa dilepaskan dari pengaruh Islam sebagai ideologi mayoritas pada saat itu. Sumbangsih Islam terhadap terusirnya segala bentuk kolonialisme merupakan prestasi tersendiri bagi para pemeluknya. Doktrin Khubbul Watan Minal Iman menjadi salah satu doktrin paling revolusioner yang dicetuskan oleh Ulama pada era itu. Tak ayal Islam mampu membius semua kalangan bahwa agama tak hanya bisa berbicara persoalan yang melangit saja, melainkan langsung dapat merbaur dengan budaya disuatu tempat tersebut.

Kontribusi riil seperti inilah yang membuat masyarakat tidak memandang Islam dari sudut pandang tekstual saja, tapi lebih kepada proses persinggungan secara langsung seperti inilah yang membuat Islam menjadi laku keras di kalangan masyarakat. Produk hukum Islam menjadi lebih inklusif terhadap budaya yang disinggahinya.

Karakteristik Islam Indonesia

Proses persinggungan budaya dari para penyebar Islam ketika akhir abad 14membentuk tatanan masyarakat Islam yang ala Indonesia. Basis kultural yang digunakan Walisongo dalam proses penyebarannya menjadi landasan kuat bahwa doktrin Islam tak sekeras dari tempat dilahirkannya. Itu yang menyebabkan Islam pada saat itu menjadi primadona dan banyak dipeluk oleh mayoritas kalangan. Tak peduli Abangan ataupun Priyayiyang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata Islam.

Pergulatan proses penyebaran sampai perkembangannya tentu mempunyai implikasi yang signifikan terhadap corak Islam ala Indonesia itu sendiri. Sehingga Islam bisa merasuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk terhadap proses cipta, rasa dan karsa yang itu tertuang lewat produk-produk hukum yang telah disesuaikan dengan konteks Indonesia itu sendiri. dengan dalil yang termaktub dalam kaidah ushul fiqh, “al muhafadatuh alal qadimi salih wal akhdu bil jadidil ashlah” (memelihara sesuatu lama yang baik, sembari mengambil sesuatu yang baru yang jauh lebih baik) yang membuat produk-produk hukumnya menjadi konstektual. Proses berbudaya dan mempertahan karakteristik bangsa inilah yang menjadikan Islam memiliki corak tersendiri, dan itu tertuang lewat ijtihad-ijtihad Ulama untuk menelurkan produk hukum ala Indonesia.

Selain produk hukum ala Indonesia, muncul juga lembaga pendidikan Islam yang ala Indonesia, yaitu Pesantren. menurut Cllifford Geertz, Pesantren merupakan produk kebudayaan Islam Indonesia yang unik dan khas. Lewat persinggungan panjang para kyai di Jawa, maka pesantren di anggap menjadi kawah dibentuknya generasi Islam ala Indonesia. Termasuk tradisi keilmuannya pun tidak sama dengan lembaga-lembaga yang lain. Bahkan Gus Dur menganggap bahwa pesantren merupakan sub-kultur, ia merupakan sarana informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, serta tempat pemupukan solidaritas masyarakat.

Bukti konkret lainnya adalah dengan ditolaknya Piagam Jakarta sebagai konsepsi ideologi negara, para Ulama lebih memilih pancasila sebagai dasar negara yang dianggap paling toleran dan pluralistik. Ini menunjukkan konsistensi Ulama dalam rangka mendukung terciptanya tatanan masyarakat yang jauh dari diskriminatif.

Catatan Penutup

Muncul dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak bisa luput dari pertautan kesejarahan yang panjang bagi Ibu Pertiwi. sebelum Islam lahir, sebenarnya masyarakat nusantara telah mengenal dan menjalankan sistem budaya yang begitu komplek dan kosmopolit. Beragam bentuk kebudayaan menjadi warna yang khas bagi bangsa khatulistiwa ini. Berangkat dari itu, maka tidak mungkin kekayaan budaya lokal dicabut dari akarnya begitu saja.

PMII sebagai organisasi yang didalamnya menganut nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan menjadi garda depan untuk menjaga Islam Indonesia dari gerakan Islam transnasional yang tidak menghargai tradisi lokal. Contoh gerakan transnasional adalah Wahabi, Ikhwanul Muslimin, FPI, HTI dan kelompok-kelompok radikal lainnya. Kelompok ini beranggapan bahwa Islam harus disamakan dengan Arab. Padahal Islam sendiri adalah produk budaya yang didalamnya jelas sangat menghargai tradisi dan budaya lokal tempat dia berkembang.

Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya pun tidak mungkin menolak keniscayaan tersebut. Maka dari itu, proses simbiosis dengan budaya lokal tersebut yang melahirkan Islam ala Indonesia yang kita kenal sekarang. Nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan dan kemanusiaan menjadi ciri khas yang ditampilkan Islam lokal ini. Maka, segala bentuk konsepsi yang tidak di dasarkan pada akar kebudayaan Indonesia merupakan produk-produk islam transnasional yang itu patut ditolak demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wallahu a’lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun