Mohon tunggu...
eko siswanto
eko siswanto Mohon Tunggu... -

pekerja konstruksi dan penggemar olahraga bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengayuh Sepeda ke Trek Curug Cihear. Gunung Julang-Cigobang, Lebak Gedong Lebak

15 September 2012   03:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati hamparan alam asri tanpa jeda, senantiasa menjadi dambaan bagi penggemar sepeda gunung, selain jalurnya yang menarik, panorama alam yang memukau, udara sejuk , dan bagi yang hirau lingkungan, pesona satwa dan flora langka akan menjadi daya tarik tersendiri untuk menjelajahinya. Berbekal keinginan di atas, menyeruak keinginan untuk bisa menjelajahi jalur-jalur perawan nan asri, dan kali ini tujuan yang dipilih adalah Curug Cihear. Curug Cihear merupakan satu curug di aliran Sungai Ciberang, dan terletak di Desa Cigobang, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak-Banten. Curug ini belum tereksploitasi dan belum dikembangkan sebagai obyek wisata, namun justru kondisi ini yang membuat curug tetap terjaga keaslian dan keasriannya, biarlah terkungkung di belantara lembah Sungai Ciberang agar tiada tangan jahil yang mengusiknya.

start dari parkiran Arung Jeram Ciberang Beberapa waktu lalu kami berdelapan dari Serpong mencoba menjajagi dan mencicipi trek Curug Cihear, dan berikut kisahnya. Selepas subuh, jam 5.30 kami berangkat menggunakan 3 bh mobil melalui Rumpin-Gobang-Leuwiliang-Cigudeg-Jasinga-Cipanas-Lebakgedong. Sekitar jam 9.20 kami sampai di areal parkir rafting Ciberang di Kp.Muhara. Setelah mempersiapkan sepeda, sarapan,peregangan dan lain-lain kami pun memulai gowes tepat pukul 10.00, dimana terik matahari dirasa sudah sangat menyengat.

Tanjakan Gunungjulang Kaler Diawali dengan menyusur jalan Kp Muhara selepas jembatan Sungai Ciberang,tanpa basa-basi langsung disambut dengan tanjakan aduhai, putaran roda masih bisa stabil mengingat baru awal start, namun tak lama kemudian kita berbelok ke Timur ke arah kiri menuju Gunungjulang, jalan aspal mulai berubah menjadi sempit dan diselingi dengan beberapa lubang, namun sudut kemiringan malah semakin bertambah. tanpa selingan sedikit pun jalan datar. Di sini satu peserta merasakan dada mulai sesak dan sakit sehingga dia memutuskan untuk kembali saja ke area parkir daripada semakin ke atas akan semakin menuai masalah. Akhirnya setelah menunggu beberapa saat dijemput oleh pemandu dari rafting Ciberang yang ditelepon. Kami pun melanjutkan pendakian jalan aspal rusak yang berkelok-kelok yang diiringi oleh suara gemericik sungai kecil yang ada di kiri jalan. Udara sejuk menambah nikmat suasana, meski sesekali mengambil jeda untuk menarik nafas sebelum kembali mendaki. Melewati Kp. Gunungjulang Kaler kami melihat beberapa gurandil alias PETI (Penambang Emas Tanpa Ijin) yang hilir mudik menggunakan motor membawa karung berisi tanah yang diambil dari puncak Gunungjulang yang akan diayak menjadi emas. Pengolahan emas dari para gurandil ini yang sangat membahayakan lingkungan, dimana mereka menggunakan air raksa dan mercury untuk memisahkan dan mengikat butiran emas dari tanah, dan membuang begitu saja limbah air raksa dan mercury ke sungai tanpa ada penanganan tersendiri, tentu lambat-laun ini akan mempengaruhi kualitas ekosistem di aliran sungai Ciberang. istirahat di warung Gunungjulang Selepas Gunungjulang Kaler, jalanan tetap mendaki dan berkelok hingga akhirnya sampai di Desa Gunungjulang, di sini terlihat ada warung di pinggir jalan, dan kami pun menepi sejenak sambil mengisi perbekalan air yang mulai menipis. Sambil mengobrol dengan warga sekitar, mereka menanyakan tujuan kita. Ketika kita jawab kita akan ke Curug Cihear, mereka hanya mengernyitkan dahi karena belum tahu curg yang dimaksud, akhirnya kami jelaskan kami akan ke sana melalui Desa Cileuksa, warga semakin membelalakkan mata. “Pak.” Kata mereka, “ belum ada yang pernah ke Cileuksa dengan sepeda ke sana, mustahil bisa menanjak”, ujar mereka. “ Motor saja belum tentu bisa, paling bisa jalan kaki itu pun sangat berat, kalau saya mah  gak bakalan mau kesana”., sambungnya. Kami pun menjawab bahwa ini hanya untuk mencari keringat, kalau nggak kuat ya dituntun saja, demikian jawab kami. Tanjakan Lebakpari Sejurus kemudian kami pun melanjutkan perjalanan, kira-kira 100 m dari warung kita belok ke kiri menuju Lebakpari, dan ternyata jalanan berubah total menjadi macadam lepas dengan bongkahan bulat berserakan, sangat sulit mengontrol handle bar yang selalu meleset jika menimpa batu, sedangkan kaki tetap harus mengayuh dan tubuh menunduk ke depan untuk mengimbangi roda depan yang terangkat akibat kemiringan yang terjal. Beberapa kali menarik nafas sambil menebar pandangan ke sekitar ternyata..subhanallah….indahnya panorama yang membentang dari Gunung Leutik ini di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, awan yang merendah seolah menjadi kubah pegunungan yang berwarna kelabu, hamparan padi dan hutan nun jauh di sana didampingi aliran sungai kecil yang senantiasa mengeluarkan alunan nada gemericik menjadi pereda penat dan lelah. Tanjakan Lebakpari tanpa henti Semakin jauh kemiringan tidak berkurang bahkan terus bertambah derajatnya. Jalanan sempit, kecil berbatu dan berliku tetap setia menemani perjalanan ini, desah dedaunan yang tersibak angin menambah kesejukan yang menerpa wajah, jalanan sungguh sunyi , sangat jarang kami berjumpa dengan warga maupun satwa, selain pepohonan nan rimbun. Kp Ciear, banyak Leuit, semacam lumbung padi kalau di Jawa Akhirnya selepas Lebakpari kami memasuki Kp Ciear, beberapa leuit nampak berjejer rapi di tepi jalan  dengan bentuk yang khas, panggung dan beratap rumbia. Leuit ini adalah bangunan tradisional yang berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen, semacam lumbung padi jika di Jawa. Rumah-rumah penduduk tampak sunyi, hanya beberapa ibu-ibu yang hanya berlilit handuk seusai mandi di sungai tampak berjalanan beriringan. Sesekali kami menyapa sambil menanyakan nama desa dan arah , dan mereka pun antusias menjawah sambil menanyakan tujuan perjalanan kita ini. Di kampung Ciear ini kami beristirahat sejenak sambil minum teh manis hangat di sebuah warung, sambil sejenak meregangkan otot yang berjam-jam disiksa oleh tanjakan, dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Tanjakan terus berlanjut tanpa henti dengan bebatuan macadam yang mulai diselingi dengan jalan tanah. Pada suatu ketinggian secara tidak sengaja mata ini menatap sekelebatan satwa elang besar yang terbang melayang mengelilingi pohon puspa , kira-kira 200 m di depan kami, melihat bentuk dan warna yang hitam legam dengan variasi warna putih di kepala hingga leher serta di ujung sayap kami terkesiap, jangan-jangan yang kami lihat tadi adalah Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi), satwa langka yang sangat dilindungi di Taman Nasional  Gunung Halimun Salak ini. Elang tadi akhirnya hinggap dan membenamkan diri ke puncak pohon puspa yang rindang dan berketinggian puluhan meter.  Sayang kamera tidak sempat menangkap gambar sang elang tadi, namun lokasi dimana elang tadi bersarang langsung di marking di GPS. Subhanallah,,ngeliat Elang Jawa dan sarangnya di atas pohon ini, di Kp Ciear Dari rumpun pohon puspa ini, kami mendapati turunan macadam yang sangat panjang, curam dan berliku sehingga jemari pun erat menggenggam grip sambil menahan getaran yang timbul akibat roda yang beradu keras dengan punggung bebatuan. Turunan ini berakhir di sebuah jembatan rusak yang melintasi Sungai Ciear yang berupa potongan papan dan hanya cukup untuk melintas  satu orang. Pemandangan menawan membuat kami sejenak istirahat sambil berfoto di sini. jembatan rusak di Cileuksa Hilir Seperti kebiasaan setelah turunan akan dihadang tanjakan, benar saja tanjakan menjulang seakan tersenyum penuh arti mengundang. Makadam yang disusun melintang, atau yang biasa disebut konstruksi Telford membuat sulit manuver roda. Dari sini ketika memandang ke bawah tampak liukan jalan seperti kelokan keris, sehingga jalur ini kami sebut jalur “keris luk pitu” atau jalur keris berkelok tujuh sesuai dengan bentuk visualnya. Jalur "keris luk pitu" Kampung CIear kami tinggalkan dan setelah mendaki cukup panjang, kami sampai di Kp Cikomang yang terletak menyempil di ujung bukit, sehingga jalan setapak pun melipir di sudut-sudut rumah warga, beberapa warga yang kami lewati dengan ramah dan sopan yang tidak dibuat-dibuat menawari kami untuk mampir barang sejenak, namun karena waktu yang semakin sore kami dengan halus menolak tawaran mereka. Turunan yang mendebarkan mulai menyapa, jalan tanah meliuk-liuk dengan kecuraman yang membuat sepeda berlari seperti menukik sampai melibas sebuah sungai kecil yang dangkal, dan jalanan setapak berbatu mulai menanjak memasuki kawasan hutan yang masuk Kp Ciparengpeng. Nyebrang sungai berbatu di Ciparengpeng Tanjakan-demi tanjakan susul-menyusul tanpa memberi kesempatan rehat, namun kerindangan hutan cukup membantu sehingga stamina tidak terkuras habis. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.20 ketika kami memasuki Kp Ciparengpeng. Sebuah jembatan bamboo yang melintasi sungai kecil menjadi penanda masuknya ke kampung ini, dilanjutkan dengan tanjakan jalan setapak tanah yang curam dan berakhir di bangunan SD Cileuksa  Kp. Ciparengpeng yang terlihat menyendiri, jauh dari pemukiman warga. Kira-kira 500 m kemudian baru kami masuk ke perkampungan. Tanjakan Ciparengpeng Di sini kami berhenti sejenak untuk menunaikan shalat , sekalian beristirahat menikmati segelas kopi panas sambil bersenda gurau dengan anak-anak yang berkerumun di sekitar warung. Terbersit senyum ketika melihat kejenakan , kepolosan dan keluguan anak-anak itu. Meski tepencil di pegunungan, paras rupawan nak elok anak-anak itu tetap terlihat. Oh ya, Kp Ciparengpeng ini sudah masuk Desa Cileuksa Kecamatan Sukajaya Bogor, jadi kami sudah melewati perbatasan Propinsi Banten dan Jabar. Kenapa gadis Sunda cantik? Karena dari kecil sudah cantik, tuh di gunung anak-anaknya geulis pisan Waktu semakin beranjak sore, sehingga kami pun bergegas melanjutkan perjalanan. Jalanan setapak berbatu kini berubah menjadi turunan curam dan panjang, ada 1,5 km panjangnya. Terus menukik turun, memaksa kami memusatkan perhatian penuh ke jalanan setapak yang berbatu dan cahaya yang semakin temaram karena waktu semakin sore dan rindangnya pepohonan yang menghalangi sinar matahari. Luar biasa turunan ini, mendebarkan karena curamnya turunan berbatu ini, beberapa rekan menurunkan habis seatpostnya untuk memudahkan handling. Turunan ke sungai Ciberang Akhirnya turunan yag menguras adrenalin ini berakhir di tepi Sungai Ciberang , yang dihiasi dengan batu-batu besar, dimana aliran sungai ini yang nantinya menuju Curug Cihear. Sebuah jembatan gantung menjuntai, menghubungkan sisi barat dan tmur sungai, sesekali seakan mengangguk jika terkena terpaan angina kencang. Suasana yang asri, sejuk, sunyi senyap selain deburan air sungai yang beradu dengan batu besar, membuat kami berlama-lama di sini, berfoto, menghirup udara dalam-dalam, atau membenamkan kaki ke aliran sungai. SUngai Ciberang di Cileuksa, aliran ke Curug Cihear Usai menuntaskan menikmati panorama Sungai Ciberang kami kembali melanjutkan perjalanan melalui jembatan gantung yang bergoyang-goyang saat kami melintasinya, dilanjutkan dengan tanjakan panjang berliku yang susul menyusul sampai ke Desa Cileuksa. Jembatan gantung, asli goyang-goyang Tanpa berhenti kami sampai di Desa Cileuksa, dan disini suasana sudah berubah, dari rimbunan pohon dan alam asri, menjadi pedesaan yang dikelilingi sawah, meski aroma pedesaan masih terasa, jalanan aspal sempit nan mulus membuat kayuhan sepeda semakin ringan. Dari Desa Cileuksa kami menuju barat ke arah Desa Cigobang, jalanan aspal mulus bervariasi antara turunan dan diselingi tanjakan-tanjakan curam yang susul menyusul-menyusul, dan tak lama kemudian kami pun tiba di Desa Cigobang, dimana curug Cihear berada. Waktu menunjukkan pukul 17.00, dari keterangan warga di sini Curug Cihear harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 3 km. Dan mengingat waktu sudah terlalu sore dan gelap, maka kami pun urung untuk berjalan kaki menuju curug karena pasti sampai di curug sudah gelap dan terlalu beresiko karena panjang melintasi tebing dan jurang dalam. Single trek di Cileuksa Akhirnya kami  memutuskan untuk langsung kembali ke parkiran rafting Ciberang. Dari Cigobang jalanan terus menurun hingga ketemu jalan raya Banjar Irigasi, jalanan terus menurun meliuk-liuk hingga di pemberhentian akhir, parkiran rafting Ciberang. Kepuasan menghiasi kami semua usai menyelesaikan trek Curug CIhear yang sangat menantang, mendebarkan, menguras tenaga, mental dan adrenalin. Untuk Curug Cihearnya kami sepakat untuk kembali lagi bulan depan guna menuntaskan mengunjungi Curug Cihear. menuju finish di parkiran Ciberang Jalur trek Curug Cihear

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun