Mohon tunggu...
Eko Septian
Eko Septian Mohon Tunggu... -

Seorang yang banyak belajar dari sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rindu Bung Karno di Tengah Pertikaian Anak Negeri

5 November 2012   03:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Lampung Selatan beberapa waktu lalu memperjelas bahwa pertikaian di antara anak bangsa Indonesia kini kerapkali terjadi. Sebelumnya, kita melihat pada Kasus Sampang di Jawa Timur anak negeri membantai saudaranya sendiri dalam konteks agama ataupun ada yang mengatakan karena cinta segitiga antara kakak beradik yang memperebutkan satu wanita. Tak usah jauh-jauh, Jakarta sebagai miniatur Indonesia masih kerap terdapat pertikaian antar warga dengan alasan perebutan wilayah. Di sisi lain, anak muda negeri ini sebagai pemimpin bangsa di masa mendatang sibuk ribut antar sesamanya. Hal itu yang kita lihat terjadi bagaimana tawuran selalu identik dengan anak muda Indonesia. Kalaulah begitu, bukankah hal tersebut merupakan ironi yang memalukan bagi bangsa yang telah berusia 67 tahun? Kemudian kita bertanya dimana persatuan dan kesatuan  yang telah dipupuk sejak dahulu ketika bersumpah menjadi satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, yakni Indonesia pada 1928? Atau masih ingatkah kita dengan Bung Karno yang selalu menggemakan persatuan dan kesatuan antara anak bangsa? Kita menjadi rindu Bung Karno ketika perpecahan di antara anak bangsa kerapkali terjadi sekarang ini karena beliau yang selalu menghendaki persatuan dan kesatuan dan tidak menghendaki perpecahan di antara anak bangsa Indonesia. Ya, Dialah Soekarno. Akrab kita menyebutnya Bung Karno. Ia lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Masa mudanya sudah terlihat ada benih-benih dalam dirinya sebagai orang besar suatu saat nanti. Hal itu mulai muncul ketika ia menulis buku "Di bawah Bendera Revolusi". Buku tebal yang dtulis Bung Karno itu menjelaskan begitu kuatnya Bung Karno ingin menyatukan rakyat Indonesia yang berbeda pemikiran, suku, bangsa, ras, dan agama dalam satu perjuangan. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat dicapai apabila persatuan dan kesatuan di antara anak bangsa itu tak terwujud. Tak berhenti sampai di sana, Ia menjelaskan konsep persatuan kesatuan Indonesia dalam pidatonya mengenai Pancasila pada 6 Juni 1945. Berikut kutipan pidato beliau. “Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo (Kalimantan) saja, atau Celebes (Sulawesi) saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita....” “Pendek kata, bangsa Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan ‘le desir d’etre ensemble’ di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian!” “...Bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu sekali lagi satu!” Itulah kutipan pidato Bung Karno yang menjelaskan bahwa orang Indonesia itu ialah satu bukan hanya Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian. Mereka ialah satu kesatuan sebagai wilayah dan juga sebagai bangsa. Mereka juga pula satu kesatuan yang tidak terpisahkan, baik pulau maupun manusianya. Namun, kini mengapa perpecahan di antara anak bangsa masih kerap terjadi? Bukankah Bung Karno telah mengungkapkan negeri ini telah menjadi satu? Di samping itu, Bung Karno juga tidak menginginkan persatuan dan kesatuan Indonesia itu terpecah belah. ketidakinginan Bung Karno negeri ini menjadi terpecah belah terungkap dalam pidatonya pada tahun 1957 yang mana dilatarbelakangi pemberontakan-pemberontakan di daerah yang marak terjadi era 50-an. Berikut kutipan pidato beliau. “Saya sekedar vertolken, mengemukakan apa yang menjadi isi jiwa daripada masyarakat kita, isi jiwa daripada pemuda-pemuda tatkala pada tanggal 28 Oktober 1928, mengatakan ikrar satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Isi jiwa daripada kita semua, tatkala kita mengadakan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada waktu itu, tidak ada, tidak ada, tidak ada, sekali lagi saya katakan tidak ada perpecahan di dalam kalbunya bangsa Indonesia....” “...Buat saya tidak ada istilah kiri, tidak ada istilah kanan! Saya sekadar menghendaki bangsa Indonesia utuh kembali, saudara-saudara, negara utuh kembali. Saya tidak memandang bulu, Saudara-saudara,... bangsa yang terpecah belah, tidak dapat berdiri terus. Apakah kita mau tetap menjadi satu nation yang yang divided against itself. Apa kita mau gugur, mau runtuh? Karena itu Saudara-saudara, mari, mari sekali lagi kita atasi, segala perpecahan ini. Saya sekali lagi saya katakan, saya tidak berpihak, saya ingin mengusulkan satu hal yang sesuai dengan jiwa Indonesia, jiwa asli, bangsa Indonesia, yakni jiwa kekeluargaan” Pidatonya tersebut serasa menyimpulkan Bung Karno tidak menghendaki negerinya ini terpecah belah karena keinginannya agar Indonesia tetap berdiri tegak. Di samping itu pula, Bung Karno mengatakan bahwa jiwa bangsa asli Indonesia ialah jiwa kekeluargaan. Namun, jiwa kekeluargaan inilah yang tampaknya hilang sekarang. Rasa hidup dalam kebhinekaan dalam ‘Bhineka Tunggal Ika’ tak tampak lagi. Semangat individualisme lebih dikedepankan daripada menahan diri dan mengedepankan semangat kekeluargaan. Alhasil, emosi dimunculkan. Persoalan membunuh dan ribut antara anak bangsa Indonesia menjadi hal yang lazim. Rasa malu sebagai bangsa yang dahulu terkenal dengan keramahtamahan tiada lagi ditampilkan. Memang benar, anak bangsa Indonesia tak lagi merasa kekeluargaan atau bersaudara karena begitu rentannya anak negeri ini membunuh saudara sebangsanya akhir-akhir ini. Lagipula, usia negeri ini sudah 67 tahun. Andai Bung Karno masih hidup tentu ia kecewa sekali. Kecewa karena Bung Karno tentunya tak menghendaki lagi Indonesia menghadapi perpecahan di kala Republik Indonesia saat ini sudah tergolong tua sebagai negara dan seharusnya menatap ke depan mewujudkan kembali apa yang di cita-citakan para Founding Fathers. Seperti apa yang diungkapkan Bung Karno. “Kita ialah bukan lagi bangsa cemoohan dunia, tetapi satu bangsa yang dihormati dan dikagumi orang. Dan lebih lagi daripada itu: bahwa kita adalah anggota dari satu bangsa yang tidak mandek, tetapi satu bangsa yang berjalan,-berjalan!-berjalan pesat ke arah pembentukan satu negara yang besar dan utuh dan kuat dari Sabang sampai Merauke, berjalan pesat ke arah satu kehidupan yang mulia, yang dihormati orang, yang adil, yang makmur, yang menjadi mercusuar bagi orang lain..” Kini, ‘Putera Sang Fajar’ telah tiada. Namun, Bung Karno dan semangat persatuan dan kesatuan Indonesianya tetap relevan dan dirindukan. Hanya saja kini bangsa Indonesia kembali menempuh ujian demi ujian ketika antar anak bangsa saling bertikai. Tentunya, harapan kita ialah segala pertikaian antara sesama anak bangsa ini segera diakhiri. Lebih baik kita sesama anak bangsa bersama-sama membangun negeri ini ke depan menjadi lebih baik dan mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun