Mudik, yang sudah menjadi tradisi selama bertahun- tahun selama 1 dekade terakhir ini benar benar bisa dilakukan dengan berbagai macam moda, entah itu naik bus, kereta api, pesawat, atau yang ekstreem, naik motor atau bajaj sekalipun.
Di tahun 2006, ketika saya iseng - iseng ikutan mudik dari Jakarta ke Solo dengan naik motor, saya berangkat pukul 22.00, saya pikir saat itu lalu lintas sudah lengang, dan jalanlan adem karena malam hari, dengan perkiraan bisa saya capai dalam 11 jam (sebelumnya pernah saya lakukan dan mengukur berapa lama perjalanan dengan motor.) tapi di luar dugaan, begitu masuk UKI dan belok kiri arah Kali Malang, lalu lintas stag dan tak bergerak sama sekali. Penuh sesak dengan motor yang saling tak mau mengalah, hingga pekarangan warga dan jalan kampung  pun ikutan di embat untuk jalur mudik. Berapa bahan bakar terbuang dan jalan Kali Malang - Cikarang penuh sesak dengan motor. Sampai sampai hitungan saya meleset lagi ketika jam 6 pagi baru sampai di Cikampek??Oh my God! dan akhirnya saya putuskan untuk cari hotel untuk menginap dan lanjut malamnya lagi.
Lewat pengalaman itulah saya bisa merasakan betapa ngerinya jalur mudik pada saat musim mudik seperti sekarang ini, seperti memberlakukan hukum rimba di jalan raya. Semua orang memacu kendaraannya tanpa perduli kanan kiri, depan belakang, muatan, dan orang yang di bawanya. 1 motor di pakai 2 orang dewasa dengan 2 anak, di depan dan tengah serta barang barang di ikat dan di tumpuk di belakangnya menjadi pemandangan biasa disini. Seolah cuman dia sendiri yang ingin mudik dan cepat cepat bertemu keluarganya. Ketika orang berkendara dengan kecepatan tinggi (80-100km/jam)dan jarak yang sangat rapat, 1 motor oleng/ jatuh, tak ayal pastilah terjadi tabrakan karambol. Â
 Itulah ironisnya fenomena mudik di Indonesia ini. Di satu sisi DISHUB selalu merilis jumlah korban- yang baru-baru ini dari H-7 s/d H-1 sudah300-an orang tewas, 650 luka berat, 1300 luka ringan- ini seperti menjadikan jalur mudik mirip seperti medan perang. (Selama 10 tahun perang Afghanistan saja "cuman"  1400 an tentara ISAF tewas, itupun karena perang beneran) . tapi disisi lain DISHUB tidak pernah melakukan antisipasi untuk mengurangi korban yang tidak perlu ini.
Masyarakat sendiri juga terkesan apatis dengan keaadaan ini, slogan "yang penting bisa pulang", tapi apa gunanya bisa pulang tapi hanya namanya saja yang pulang dan memberikan duka buat keluarga yang akan dikunjunginya, saya pikir pola pikiran ini yang perlu dirubah, tanpa perlu menunggu apa yang akan pemerintah lakukan untuk memperbaiki situasi yang terus menerus "dibiarkan"Â ini dan hanya menghimbau dan menghimbau (mentrinya) atau cuman prihatin dan prihatin (president nya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H