Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, Mila terlihat resah. Bolak-balik ia melihat jam dinding merah muda pemberian salah seorang pelanggan pecelnya.
Matahari sudah di atas jemuran. Tapi tidak seperti biasanya, Kabul, salah seorang pelanggan setianya belum juga muncul. Padahal, setiap hari, Kabul yang mempunyai lapak di pasar Lakarsantri itu selalu sarapan di warung pecelnya. Kabul bukan sekedar pelanggan setia, tapi juga sudah mengisi bagian hati Mila yang lama kosong.
Mila masih ingat bagaimana warung pecelnya sempat diobrak-abrik Satpol PP Kecamatan karena dianggap melanggar sempadan. Mila ketika itu hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Melihat warungnya hancur. Warung yang juga merupakan mimpi dan harapannya ketika ia harus membanting tulang sendirian karena ditinggal selingkuh oleh suaminya yang bekerja di luar pulau.
Di tengah kekalutan, tiba-tiba seberkas harapan muncul ketika seorang pria hitam manis menghampirinya. Pria yang belum dikenal itu memperkenalkan diri sebagai Kabul Notowiryo Handoyo Sukijan. Awalnya, Mila hanya menanggapi uluran tangan Kabul dengan acuh. Sebab, gadis semampai ini belum mengenal betul Kabul sebenarnya. Tapi, lama-kelamaan, Mila mulai respect terhadap Kabul yang membuatnya bangkit.
Karena Kabul juga, Mila bisa bangkit. Kabul memberikan tempat di sebelah kenalannya di kawasan Kampung Malem Seribu. Kabul juga yang membangunkan warung sederhana untuk Mila. Mila juga tidak menyangka ada seseorang yang begitu baik terhadapnya. Padahal, dia trauma dengan kejadian yang menimpanya.
Anam Maruf, suaminya adalah tipikal pria yang gampang sekali emosi. Tiap hari penderitaan yang dia dapat tidak habis jika dituliskan dalam lembaran-lembaran buku utang pelanggan pecelnya.
Bukan hanya tersiksa batin. Mila juga disiksa fisik. Tamparan dan tendangan tidak jarang ia dapat hanya karena kesalahan kecil. Trauma itu berusaha Mila singkirkan sedalam-dalamnya sebagai memori kelam dalam kehidupannya.
Hingga akhirnya ia bertemu Kabul, pria hitam manis yang begitu perhatian kepadanya. Bisa dibilang, bulir-bulir cinta mulai bersemi di hati Mila. Tapi, dia masih memendam rasa itu. Ia takut jika perasaannya salah alamat.
Apalagi, ia belum mengenal kehidupan pribadi Kabul. Mila hanya mengenal Kabul sebagai pria pekerja keras. Selain mempunyai lapak dagangan di pasar, Kabul juga mempunya lima hektar sawah yang disewakan. Jadi, setiap tahunnya Kabul menerima jatah beras dari penyewanya.
Lebih jauh, Mila belum mengenal kehidupan Kabul sebenarnya. Apakah Kabul sudah punya pacar atau bahkan istri. Mila takut dan sungkan untuk menanyakan langsung kepada Kabul. Karena Kabul termasuk tipikal pria pendiam.
Kabul juga tidak pernah menunjukkan rasa cemburu ketika pelanggannya mengodanya. Tidak pernah. Itu yang membuat Mila jadi sering salah tingkah dan belum bisa menyelami hati Kabul.