Selain itu, pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk partisipasi dan pemberdayaan masyarakat melalui percepatan program perhutanan sosial.
Sebelum tahun 2015, masyarakat hanya dapat mengelola 7 persen dari kawasan hutan. Tetapi dengan agenda Presiden Jokowi tentang Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, itu akan meningkat secara signifikan menjadi 33 persen.
Sedangkan untuk reforma agraria dengan skema distribusi lahan seluas 4,1 juta hektare, dan Perhutanan Sosial 12,7 juta hektar.
"Kami merancang zona tradisional di dalam taman nasional untuk dikelola secara kolaboratif dengan masyarakat. Kami juga mengelola sekitar 27,4 juta ha kawasan konservasi hutan dan laut menggunakan manajemen berbasis resor sehingga masalah di lapangan dapat ditangani dengan cepat dan tepat", ucap Siti Nurbaya.
Untuk menjaga kontribusi ekonomi kayu terhadap ekonomi nasional sambil mempertahankan sumber daya hutan dan lingkungan, Indonesia telah mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Terobosan ini sangat penting untuk mencapai pengelolaan hutan produksi lestari di Indonesia. Indonesia juga merupakan negara pertama yang menandatangani perjanjian FLEGT-VPA dengan UE.
"Paradigma baru pengelolaan hutan tidak hanya mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial, tetapi juga aspek ekonomi. Dengan lebih mengintensifkan pemanfaatan jasa ekosistem hutan termasuk daerah aliran sungai, air untuk energi, keanekaragaman hayati, penyerapan karbon dan bahkan panas bumi dan tenaga air", pungkas Siti Nurbaya.
Stephen Rudgard, FAO Representative, yang hadir dalam acara ini juga mengapresiasi penerbitan buku ini.
"Saya tahu proses pembuatan buku ini sangat berat, karena objek yang bibahas dalam buku terkait kebijakan, yang memerlukan pengumpulan dan penampilan data dan bukti yang cukup", ucap Stephen.
Turut hadir pada acara tersebut, Duta Besar Norwegia Vegard Kaale, Duta Besar Fiji, para duta besar negara sahabat, dan para pemimpin organisasi internasional serta pejabat KLHK.