UPACARA Tawur Agung Kesanga adalah upacara Butha Yadnya yang dilakukan untuk kesejahteraan alam.
UMAT Hindu akan memperingati Hari Nyepi atau Tahun Baru Caka 1937 pada Sabtu (15/3). Sehari sebelum Nyepi, ada upacara Tawur Agung Kesanga, lalu pada sore hingga malam hari digelar Pengerupukan dengan arak-arakan ogoh-ogoh di seluruh pelosok.
Tawur Agung Kesanga, sebagaimana dijelaskan oleh ketua PHDI kecamatan Bangorejo Wintoyo, menyitir Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, termasuk upacara Butha Yadnya. “Yadnya ini dilaksanakan manusia untuk kesejahteraan alam. Dalam Sarasamuscaya disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua mahluk. Dalam Bhagavadgita pun disebut, karena makanan, mahluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan atau yadnya turunlah hujan, dan yadnya lahir karena kerja,” paparnya.
Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali, imbuh Wintoyo, disebutkan Brahma berputra tiga orang — Siwa, Budha dan Bujangga. Ketiganya diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. “Karenanya, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh Romo Mangku dan Romo Manggala. Mereka menyucikan secara spiritual tiga alam ini — bhur loka, bhwah loka dan swah loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Agung Kesanga, digelar upacara Melasti atau Melis,” jelasnya.
Tawur Agung Kesanga, rinci Wintoyo, juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata tawur berarti ‘mengembalikan’ atau ‘membayar’. “Manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perilaku mengambil perlu diimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan yang ikhlas. Ini berarti, Tawur Agung Kesanga bermakna memotivasi keseimbangan jiwa,” katanya.
Secara harfiah, Hari Nyepi bersangkutan dengan siklus hidup. Dalam satu siklus, selalu ada titik nol dan pada saat itulah disebut sepi atau Nyepi. Menurut Roni Hanwasisto Jebolan IHDN Denpasar S2, titik nol merupakan titik balik, titik perhentian dari perjalanan kemarin mempersiapkan perjalanan berikutnya.
Dijelaskan Roni Hanwasito, dalam perjalanan waktu, di orbit makro atau bhuana agung (bumi) dan mikro atau bhuana alit (mahluk hidup di bumi) terjadi dinamika hidup, ada sisi positif dan negatifnya. Untuk itu, sebelum menuju titik nol (Nyepi), umat Hindu melaksanakan serangkaian upacara seperti Melasti dan Pengrupukan. Melasti bertujuan membersihkan pretima atau benda yang disakralkan.
Menurut Roni Hanwasisto, di Hari Nyepi, sifat-sifat buruk dilebur dan dikendalikan agar tidak muncul lagi di tahun berikutnya. Maka, sifat-sifat buruk itu diwujudkan sebagai ogoh-ogoh, yaitu sosok-sosok boneka yang digambarkan sesuai dengan sifat negatif manusia. “Umumnya, sifat pemarah digambarkan dengan mata ogoh-ogoh yang melotot, gigi bertaring dan bentuk wajah menyeramkan. Namun seiring perkembangan zaman, ogoh-ogoh mulai bervariasi. Kehadirannya merupakan kreativitas seseorang dan bentuk apapun tidak salah,” imbuhnya.
Pada Pengrupukan, ogoh-ogoh diarak. Saat upacara Pecaruan, diundanglah semua bhuta kala dari sembilan penjuru arah mata angin. “Rangkaian upacara inilah yang disebut Tawur Agung Kesanga. Secara harfiah, caru yang disajikan berupa makanan enak untuk bhuta kala. Sehingga, nanti pada saat umat melaksanakan brata penyepian di hari Nyepi, bhuta kala ini dapat dikendalikan dan pada tahun yang baru kita tidak lagi dipengaruhi sifat buruk,” papar Roni Hanwasisito.
Proses Pecaruan ini dilakukan dengan berkeliling ke segala penjuru rumah dan halaman. Diikuti pula dengan suara teriakan yang berarti pelampiasan emosi, secara psikologis setelah melepaskan emosi seseorang akan menjadi tenang dan siap menyambut hari Nyepi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H