Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... -

Mari berdiskusi tentang media, sosial, kebudayaan dan birokrasi. Juga tentang film, buku dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembali Ke Rumah

3 Oktober 2011   01:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:24 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua malam kemarin saya menginap di rumah seorang kawan. Saya betul-betul merasakan suasana yang begitu homy—mudah-mudahan istilah saya benar. Rumah banget. Sebagai manusia yang telah meninggalkan rumah sejak usia 15 tahun. Saya tahu persis rasanya kangen rumah. Tiga tahun tinggal di sekolah berasrama pada saat SMA, dan lima tahun indekos pada saat kuliah memang membuat saya rindu suasana rumah. Definisi saya tentang suasana rumahan sebenarnya cukup sederhana: menyeruput teh hangat buatan ibu di pagi buta yang dingin, membaca majalah atau buku di sofa ruang tamu dan ketiduran di ruang tengah ketika menonton TV. Hal terakhir itu lah yang begitu saya kangeni, pun hingga saat ini.

Bercerita tentang rumah, saya tentu tidak bisa meninggalkan rumah masa kecil saya. Seingat saya, hingga saya meninggalkan rumah, saya telah tinggal di tiga rumah berbeda. Saya menyebut rumah yang pertama ini sebagai rumah “marjuk”. Saya tidak tahu persis dari mana asal mula saya menamai rumah ini. Saya menebak, karena rumah ini rumah kontrakan, pemilik rumah ini adalah Marzuki. Entah benar apa tidak. Namun hal yang sangat saya ingat, rumah itu berdaun pintu utama ganda dengan kaca. Sehingga saya bisa mengintip kedalam rumah lewat daun pintu—dengan sedikit menginjit tentu saja.

Sebelum masuk SD, kami harus pindah ke kontrakan yang lain. Rumah kali ini mungkin agak unik. Karena hampir seluruh bangunan rumah terbuat dari kayu. Dan lantai rumah berjarak sekitar setengah meter dari tanah. Singkatnya ini rumah panggung. Awalnya saya tidak mau pindah kesini, hampir setengah hari saya meraung-raung. Alasan utama saya tidak mau pindah adalah karena rumah baru itu tidak punya pintu yang berkaca.

Namun lama kelamaan saya menyukai rumah ini, karena saya bisa (maaf) pipis dari dalam rumah lewat sela-sela lantai kayu itu. Posisi favorit saya di dekat kusen pintu kamar ibu, karena lubang di lantai itu cukup besar sehingga saya bisa bebas berekspresi. Hal lain yang lebih menyenangkan adalah saya bisa menggunakan kolong rumah untuk bersembunyi ketika main petak umpet. Sebagai si empunya rumah, saya tahu persis sisi mana yang tidak mungkin kelihatan dari luar, walaupun yang mencari sudah melongok kedalam kolong rumah.

Sekitar usia 10 tahunan kami kembali pindah rumah, tidak jauh-jauh, sebab Bapak membeli rumah tetangga persis di depan rumah panggung. Rumah ketiga ini sepertinya juga belum sepenuhnya jadi. Masih belum “diplester” dan kamar mandi yang belum cukup representatif. Saya ingat betul bagaimana saya harus rela nyamuk menyantap pantat ketika sedang asyik buang hajat. Juga belum ada saluran air PDAM atau sumur bor, sehingga harus mengangkut air dari sumur umum berjarak 100 meter dari rumah. Saya bahkan lebih sering mandi di “perigi wakaf”—sebutan kami untuk sumur umum itu, dari pada di rumah.

Rumah memang menjadi sesuatu bagi saya. Pun ketika kuliah saya memilih tinggal di rumah kontrakan atau indekos di rumah penduduk, bukan di tempat kos yang memiliki puluhan kamar. Karena rumah seharusnya memang punya arti lebih. Rumah—meminjam istilah filsuf Jerman, Juergen Habermas—seharusnya memang menjadi ruang publik. Rumah harus menjadi madrasah atau bahkan masjid pertama bagi anak-anak. Di masyarakat urban seperti saat ini, rasanya memang sulit menemukan rumah ideal tersebut. Orang tua sudah berangkat kerja saat anak masih tidur dan pulang ketika anak sudah kembali lagi ke peraduan. Rumah tidak lebih dari sekedar hotel tempat menginap saja.

Saya memang mendambakan rumah yang memiliki ruang tengah yang besar untuk fungsi ruang publik tersebut. Selama tinggal di beberapa rumah yang saya sebut diatas, kami memang tidak memiliki ruang tengah. Hampir semua fungsi ruang publik dilakukan di ruang tamu. Luas rumah yang memang tidak seberapa memaksa harus seperti itu. Kalaupun ada ruang publik itu adalah meja makan. Bapak memang mewajibkan makan malam bersama setiap malam. Walaupun hanya dengan lauk telur dan mie instan. Sekarang saya merasakan betul manfaat makan malam bersama itu: berani mengungkapkan pendapat dan bisa menjadi pendengar yang baik.

Ruang publik yang berupa rumah itu, baik untuk keluarga atau untuk siapapun memang sudah seharusnya ada. Saya kagum dengan Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah yang merelakan ruang tengah lantai dasarnya sebagai ruang publik bagi siapapun tamunya yang sering tidak sedikit saat sekali datang. Seperti yang disebut YB. Mangunwijaya; rohaniwan, sastrawan sekaligus arsitek yang akrab disapa Romo Mangun itu bahwa rumah yang bagus adalah rumah terbuka bagi siapa saja, tidak memandang agama, golongan, suku dan tingkatan ekonomi. Rumah seperti ini lah yang kini jarang ada. Kita sudah lebih banyak menggeser fungsi ruang publik yang harusnya ada di rumah itu ke mall, coffe shop dan 7 Eleven misalnya.

Pacaran misalnya, sebagai salah bentuk interaksi antar manusia dalam ruang publik itu sudah jarang dilakukan di rumah. Lebih banyak di bioskop atau di taman. Kalaupun di rumah, pacaran dilakukan pada saat rumah sepi. Dengan agenda yang lain tentu saja.

Saya ingat betul bagaimana dulu pacar saya meminta untuk pacaran di rumahnya saja. “Biar kenal dengan ibu,” katanya kala itu. Suasana penuh kekeluargaan dengan menonton tayangan infotainmen bersama ibunya atau serunya adu analisis amatiran dengan bapaknya saat Piala Dunia itulah yang dicari, yang tentu saja tidak ada di bioskop, mall atau bahkan 7 eleven.

Rumah dan ruang publik itu lah yang kini dicari. Mengubah fungsi rumah yang tidak lebih sebagai hotel di masyarakat urban dan posmodernis seperti saat ini memang bukan tugas mudah. Namun setidaknya, itulah yang bisa kita lakukan. Bukankah segalanya berawal dari rumah. Jika seorang itu pembohong tentu awalnya dia belajar berbohong dari orang rumah. Jika seorang pencuri, tentu awalnya dia mencuri apa yang ada di rumah. Sepertinya sudah saatnya lah kita menoleh kembali ke rumah sebagai masjid atau madrasah pertama untuk mendidik anak bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun