Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... -

Mari berdiskusi tentang media, sosial, kebudayaan dan birokrasi. Juga tentang film, buku dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jancuk:Relasi Kuasa yang Egaliter

26 Maret 2013   15:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:11 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13642879711613869800

Jancuk!  Tidak jelas betul dari mana awal kata ini. Tapi hampir setiap orang Jawa—terutama yang bermukim di wilayah Jawa Timur—sangat familiar dengan kata ini. Levelnya mungkin sama dengan kata Fuck dalam bahasa inggris. Kata Jancuk umumnya diucapkan oleh masyarakat Jawa Timur yang menggunakan logat Arek (wilayah Surabaya-Malang dan sekitarnya). Wilayah Mataraman (Madiun dan sekitarnya) ataupun daerah Tapal Kuda (Jember dan sekitarnya) relatif lebih jarang menggunakan pisuhan ini. Setiap kata pasti mengandung makna. Termasuk juga pisuhan, tidak terkecuali Jancuk. Kata ini memang sedikit unik. Ia tidak diambil dari nama binatang yang biasanya menjadi kata dasar caci-maki. Dan uniknya, hari ini, kata Jancuk tidak lagi hanya dipakai sebagai makian atau ungkapan kekesalan tetapi juga sebagai teguran akrab dan bahkan ungkapan rasa syukur. Namun apa makna sebenarnya dari Jancuk? Cara termudah untuk menafsir makna dari sebuah kata adalah melekatkan makna tersebut pada makna dari kata-kata terdekat. Salah satu kata yang paling dekat dengan Jancuk adalah Ngencuk atau bersetubuh. Arti kata ini rasa-rasanya sesuai dengan makna Jancuk sebagai sebuah ungkapan kata-kata kotor. Namun ketika kata Jancuk berkembang menjadi sebuah sapaan akrab, memuji dan bahkan ungkapan rasa syukur, makna Jancuk yang mengacu dari kata ngencuk tersebut gugur. Jancuk menjadi nirmakna. Makna Jancuk kemudian kembali kepada siapa yang menafsirkan teks atau kata tersebut. Sehingga, seperti kata Roland Barthes, penulis telah mati ketika teks sampai pada pembaca. Makna menjadi otoritas, hak prerogratif nan absolut dari pembaca. Kita tidak bisa mencegah orang yang bersyukur dengan kata Jancuk: Jancuk! Aku lulus rek..!! Jancuk memang lahir dari kalangan abangan di wilayah Suroboyoan dan Malang Raya, bukan kalangan priyayi di mataraman atau kalangan santri di daerah tapal kuda. Jancuk menggambarkan keegaliteran: sama rata, sama rasa. Selain itu kata Jancuk—seperti teks lainnya—pasti mengandung wacana. Dan wacana, meminjam Foucoult, tidak akan lepas dari kekuasaan. Tidak akan ada wacana tanpa kekuasaan dan setiap kekuasaan tidak akan lepas dari wacana. Dengan demikian, dalam teks Jancuk sendiri pasti mengandung relasi kuasa. Sebagai daerah yang jauh dari pusat kekuasaan (Mataram), wilayah Arek memang cenderung tidak memiliki pusat kekuasaan yang absolut. Perasaan setara lebih hidup di wilayah Arek daripada wilayah mataraman dengan kekuasaan raja, dan wilayah tapal kuda dengan pusat kekuasaan di para kyai. Lalu, dari relasi kekuasaan yang seperti apa kata Jancuk itu lahir? Sebagai wilayah dengan penduduk yang tidak memiliki kekuasaan absolut, wilayah arek menjadi bebas bagi siapapun. Egaliter, terbuka dan terkadang nekad adalah ciri masyarakat di daerah Arek. Sikap-sikap seperti inilah yang melahirkan kata Jancuk. Sebuah ungkapan makian, namun sekaligus juga memuji bahkan bersyukur. Selain itu, ungkapan makian Jancuk menjadi penanda bahwa adanya keterbukaan orang-orang di wilayah Arek. Hal ini dipercaya dapat meredam konflik sosial yang lebih luas. Sebab dengan memaki, kejengkelan dapat sedikit dilepaskan. Kemangkelan tidak lagi ditahan, tetapi keluar dari dalam diri. Sehingga kemudian, banyak yang melihat konflik sosial di wilayah Arek tidak seramai di kota besar lain, seperti Makassar, Jakarta atau bahkan Solo. Namun dalam hal ini, konflik Bonek dan Aremania menjadi pengecualian. Dua kelompok suporter terbesar di Jawa Timur bahkan di Indonesia ini berkonflik karena fanatisme yang berlebihan. Sebagai sesama warga Arek, Bonek maupun Aremania sama-sama terbuka dan sama-sama nekad. Logika kerumunan (crowd) lebih menguasai para Bonek dan Aremania. Mereka sama-sama men-jancuki satu sama lain. Tidak ada yang dominan antara Bonek dan Aremania menjadi bukti bahwa memang tidak ada relasi kuasa yang dominan di wilayah Arek. Kata Jancuk dengan demikian menjadi kata yang luwes untuk dipakai, sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada relasi kuasa tirani dari suatu pihak kepada pihak lain. Jancuk kemudian bertransformasi dan bahkan didekonstruksi menjadi wacana yang lain. Tidak hanya sekedar pisuhan tanpa makna, tapi telah menjadi sapaan akrab, pujian dan ungkapan rasa syukur. Saat ini bahkan kata Jancuk dengan lantang diungkapkan di forum-forum resmi, acara televisi dan media sosial, utamanya didengungkan oleh Sudjiwo Tedjo. Jancuk tidak lagi tabu untuk diungkapkan, tetapi bahkan menjadi ciri khas bagi warga Jawa Timuran khususnya di wilayah arek. Hotel Plaza Surabaya bahkan menggunakan kata Jancuk sebagai merek kuliner unggulan yang mereka jual: Nasi Goreng Jancuk. Berbagai hal tersebut menjadi bukti bahwa Jancuk adalah kekayaan budaya Jawa Timur. Bahkan Sudjiwo Tedjo dengan nada guyon menyebut saat Bung Tomo memimpin perlawanan arek-arek suroboyo pada 10 Nopember 1945, kata Jancuk adalah salah satu kata yang lantang diucapkan untuk mengungkapkan permusuhan dengan Belanda, selain kata Allahuakbar! untuk membangkitkan semangat perlawanan. Jancuk!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun