Media massa adalah faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi. Setiap orang pasti sangat membutuhkan informasi. Disamping kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan, berita menjadi kebutuhan lain, yang juga mesti dipenuhi. Oleh karena itu, kini semakin banyak penerbitan media massa, seperti media cetak, yang menyediakan surat kabar, tabloid dan majalah, media elektronik berupa televisi, dan sekarang mucul media baru yang sangat cepat yaitu media on-line, dengan berbagai macam suguhan program dan segmen sesuai visi dan misi pada perusahaan tersebut. Apalagi pers kini mengalami masa kemerdekaan jurnalistik, karena tidak lagi mengalami kesulitan dalam memberikan informasi kepada khalayak pasca lengsernya masa kediktatoran mantan presiden Soeharto.
Perkembangan media massa di Indonesia semakin pesat, tak terkecuali media elektronik. Perkembangan media massa elektronik mendorong pemikiran baru di bidang jurnalistik. Media massa elektronik terutama media online memiliki elemen yang berbeda dengan media massa cetak dan televisi. Media online merupakan media yang kecepatan dalam menyampaikan suatu berita atau informasi sangat cepat dan mudah dijangkau, karena dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Ciri media online sendiri adalah breaking news dengan ciri berita yang sangat singkat, mudah diverna, langsung dan ada kontinuitas. Selain itu periodisasi hilang, bordeless (tanpa batas), cepat, sebaran luas, 24 jam nonstop dan bersifat interaktif. Selain itu juga, terdapat kelemahan dari jurnalisme online seperti tidak memiliki kredibilitas. Hal ini disebabkan karena orang yang tidak memiliki ketrampilan yang memadai juga dapat bercerita melalui jurnalisme online tersebut. Banyak orang yang tidak menganal seluk-beluk dunia jurnalisme, yang bisa menyampaikan ide-idenya pada orang-orang yang berda di berbagai belahan bumi melalui teknologi internet. Kemudian tingkat dari kebenaran jurnalisme online masih sangat diragukan.
Ada sebuah pernyataan sederhana yang berbunyi "sebuah berita sudah pasti sebuah informasi, tetapi sebuah informasi belum tentu sebuah berita". Hal itu karena informasi baru dapat dikatakan berita apabila informasi itu memiliki unsur- unsur yang mempunyai nilai berita. Nilai berita itu antara lain actuality (aktualitas), human interest (daya tarik manusiawi), importance (penting), prominence (keterlibatan), proximity (kedekatan).
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya "The Elements of Journalism" menandaskan bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin melakukan verifikasi. Tetapi, dalam praktiknya, aktivitas melakukan verifikasi bukanlah pekerjaan yang gampang. Banyak problem yang terjadi, bukan terletak pada realitas kasus atau informasi itu susah diverifikasi atau tidak. Tetapi melainkain, kepada kemalasan para wartawan dalam melakukan verifikasi tersebut.
Disinilah letak kesalahan yang kerap terjadi pada jurnalisme online. Jurnalisme online dituntut dalam menyampaikan suatu berita dan informasi kepada publik harus cepat. Karena sitem dari media online adalah permain detik. Dari tuntutan tersebut, banyak jurnalis yang tidak melakukan verifikasi, apakah data yang diperoleh adalah benar atau tidak. Dapat dipungkiri, apakah kemungkinan besar antar media sering melakukan copypaste tanpa menguji kebenarannya. Bukan suatu rahasia lagi. Kalau di lapangan para jurnalis banyak senang berkumpumpul untuk saling bertukar contekan (dalam hal ini menukar berita yang didapatkan). Akibatnya, berita atau informasi yang di beritakan sering sama, bahkan hingga penggunaan kata pada kalimat berita. Hal terburuk lainnya, apabila informasi yang didapatkan itu adalah salah. Maka semua media pun pada akhirnya akan menyampaikan suatu informasi yang tentunya juga salah, karena hanya bertukar informasi dan tidak mengetahui atau tidak meliput kejadian (peristiwa) yang sebenarnya.
Kebanyakan media cendrung menyajikan suatu berita atau informasi menyerupai film atau adegan sinetron. Informasi yang disampaikan sensasional dan dramatik, dan tak jarang juga tanpa isi sama sekali. Kasus persaingan atar media dalam menginformasikan suatu kejadian atau peristiawa paling cepat terkadang malah menjadi asal memberikan pemberitaan adan sangat minus dalam hal verifikasi. Para wartawan sangat senang sekali mengutip tulisan dan ucapan dari orang lain tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu dalam kebenaran yang diomongkan dari narasumber yang didapatkannya. Padahal, rasa ingin tahu seharusnya selalu melekat pada diri sang jurnalis, agar data yang mereka peroleh semakin banyak dan semakin akurat. Belum lagi dengan turunnya kualiatas jurnalistik, khususnya disiplin dalam hal melakukan verifikasi, lantaran bayang-bayang terhadap komersialisasi suatu media. Media akan lebih memihak pada kepentingan para pemilik modal, daripada kepentinggan publik. Dan pada akibtanya akan berdampak, apabila pemilik modal atas sebuah media sedang terkena suatu kasus, maka pemberitaan tersebut akan terasa biasa-biasa saja. Seperti kasus dahulu pada media tv one dan peristiwa lumpur lapindo.
Jurnalis dewasa ini, banyak yang sangat malas untuk menyikapi bahan liputannya, mencari latar belakang narasumbernya, dan malas dalam menguji tingkat kebenaran informasi yang disampaikan oleh narasumbernya. Menjadi suatu problematika apabila sebuah media memilik suatu ideologi tertentu. Wartwan harus melakukan konfirmasi kepada pihak yang diberitakan. Masalahnya, bagaimana jika upaya konfirmasi kepada orang penting dohalangi bawahannya. Bawahannya mengatakan atasannya tidak ingin diwawancarai, padahal sang juranlis sangat penting melakukan wawancara. Mengenai sulitnya konfirmasi kepada orang penting karena dihalangi bawahannya, apa boleh buat, sampaikan saja di dalam berita bahwa "wartawan kami sudah berupaya untuk meminta klarifikasi atau konfirmasi, tapi yang bersangkutan tidak bersedia diwawancarai atau tidak ada komentar." Dan, memang kode etik jurnalistik melarang wartawan untuk memaksa. Hanya dalam investigative reporting wartawan boleh sedikit memaksa. Tapi, investigative reporting alasannya harus kuat. Misalnya, investigasi dilakukan terhadap seorang pejabat yang terlibat korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan yang sangat merugikan masyarakat. Independen tidak berarti netral, tapi boleh berpihak. Independen adalah putusan redaksi suatu media--apa pun putusannya dalam kebijakan peliputan dan penyajian pemberitaan. Silakan berpihak kepada presiden atau kepada partai gurem karena yang terpenting alasannya harus kuat. Misalnya, karena partai gurem tersebut punya program paling baik untuk masa depan Indonesia. Alasannya bukan karena saudara, suku, agama, atau ras, tapi karena keyakinan untuk berpihak pada kebenaran dan keadilan, tidak kepada pelanggaran hak asasi manusia.
Pada akhirnya, tanggung jawab terbesar seorang jurnalis adalah pemberitaan yang di informasikan kepada publik.jurnalisme biasanya lebih menganjurkan, menyiarkan dan menyajikan karya-karya jurnalistik yang perlu bagi kepentingan publik, dan bukan yang diinginkan. Berita dan informasi yang disajikan haruslah lulus verifikasi dan tidak membohongi publik. Informasi yang disampaikan pun harus lah akurat dan terbukti kebenarannya. Tidak hanya contekan belaka dan informasi dari mulut ke mulut, melainkan hasil dari peliputan di lapangan dengan key informan para saksi di lapangan yang tentunya mengetahui jelas dan mengerti mengenai kejadian dari peristiwa tersebut. Kerena media online dituntut dengan penyampaian berita dengan cepat, maka seorang jurnalisme online harus dengan teliti memakai narasumber dalam pemberitaan dan selalu melakukan verifikasi untuk melihat keakuratan dan faktualnya suatu berita. Sehingga publik akan tetap percaya akan pemberitaan tersebut dan tidak terjadi pembohongan publik. Selalu memegang teguh kode etik jurnalistik.
Referensi :
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel, "The Elements of Journalism"
http://kangarul.com/menggagas-peran-ptais-dalam-meningkatkan-kompetensi-wartawan/