Tahun Baru, Hari Haru
Bukan lantaran biru percik lelatu di langit Yogya-Mu yang memantik rasa haruku. Bukan juga lantaran riuh riang ledakan petasan yang dihempas ke gulita langit Yogya-Mu. Bukan. Melainkan perpisahan yang disebabkan keputusanmu yang kau rasa tepat dan perpisahanmu yang dipaksakan. Dan untuk yang terakhir kusebut, yang menyebabkan haru itu menggebu -- lantaran kita memang enggan memutuskan melawannya!
Tepat di hari ini tahun lalu, 1 Januari 2023, aku dihadapkan situasi yang sama ketika menyaksikan pengurangan demi efisiensi dalam bayang resesi. Melihat gelagat bisnis yang sekarat sejak Oktober 2022, aku sudah mendiskusikannya dengan para teman baik, serta sudah mengerti perpisahan antara aku dan kau tak lama lagi terjadi.Â
Meski sudah kuwanti-wanti dengan beberapamu, pertanyaan bodoh tetap memberondong kepalaku ketika hari perpisahan itu tiba. Kenapa orang baik sepertimu yang justru dienyahkan? Kenapa mereka yang tidak lebih baik darimu yang justru dipertahankan? Atau memang ini bukan perkara kepantasan dan ketidakpantasan yang dapat diukur dari kecakapan kerja maupun kecakapan lobi politik, melainkan ini karena soal bahwa status kita sebagai buruh makin rapuh? Sehingga kita gampang saja ditendang, entah dalam hitungan bulan, hitungan hari bahkan hitungan jam? Siapa yang bertanggung jawab untuk itu?! Apakah perusahaan atau pemerintah?!
Pertanyaan bodoh itu menguap begitu saja dalam luapan perasaan bingung yang tak dapat kuutarakan. Rekam ingatan haha-hihi-huhu selama kenal denganmu hilir mudik.Â
Sialnya, ingatan tentang kita yang mengumpat sambil tertawa di atas kemalangan nasib kita masing-masing itulah yang nongol. Entah, apakah itu suatu respon tolol atau suatu kecerdikan yang unik bagaimana kita sudah mahir mengelola konflik, meremehtemehkan kesialan. Atau memang kita pandai mencari kelucuan dalam peristiwa-peristiwa seperti didamprat atasan, ditambah beban kerja dan diolor waktu kerjanya, dikejutkan dengan kebijakan yang merugikan namun dibalut eufemis yang manis.
Tepat di hari ini, tahun ini aku dihadapkan situasi yang sama. Menyaksikan lagi hal-hal yang menjungkir balikan banyak ilmu dan pengetahuan. Barangkali terbukti selorohku kepadamu dan teman-teman kerja yang sering kubercandai, bahwa humor itu menyenangkan kalau diucapkan dari kepala seorang pelawak atau kepalaku, atau kepalamu yang pusing membagi gaji dan humor itu agaknya menjadi menyeramkan kalau diucapkan dari kepala seorang kepala negara, kepala perusahaan atau kepala atasan.Â
Sebab dalam humor salah satu metode yang dipakai yakni memelesetkan sesuatu. Memelesetkan sebagaimana selorohku padamu tempo waktu, "kenapa gajah besar? sebab kalau kecil namanya gaji. Apalagi gaji di Yogya." Berbeda kiranya apabila kepala negara, kepala perusahaan atau kepala atasan yang melakukan hal itu. Mereka krisis bahkan nihil kesengsaraan nasib yang tidak dapat diplesetkannya sebagai bahan humor.
Bahaya kiranya ketika dengan kejahilan pikirnya mereka justru memelesetkan kekuasaan, hukum atau kebijakan! Sebagaimana selorohnya padamu tempo lalu, "Ini kamu musti di freeze (dirumahkan) 45 hari biar beku. Nanti kalau sudah beku, kiranya diperlukan dan kamu masih mau kamu awet kerja di sini." Mengakali hukum. Ya, alih-alih menyenagkan target humor, hal seperti itu justru menyengsarakan kita. Komedi terburuk atasan seperti itu paradoks tapi celakanya menjadi bahan komedi yang baik untuk kita bumbukan pada obrolan di tongkrongan.
Tepat hari ini, tahun ini, 1 Januari 2024 aku dihadapkan situasi perpisahan yang serupa. Kehampaan nan getir. Ketidakpastian nan khawatir. Hari yang haru karenamu, entah kapan kemudian tiba masaku.
Yogyakarta, 01 Januari 2024