Keterdesakan, Ketercukupan, Ketangguhan
Jumpa itu tiba. Ia melambai ketika aku sampai. Dua tahun kiranya, kami berpisah dibelah sejarah. Ia gerilya di Subang dan Jakarta, sedangkan aku mandeg di Yogyakarta.
Seusainya aku beranjak dari kasir, obrolan dengannya begitu saja bergulir. Kami saling memperjelas kabar yang kabur. Topik percintaan lagi-lagi jadi bahan utama perbincangan. Percintaan duniawi yang makin ranum mewangi.
Menyimak ceritanya tentang cinta, agaknya memang aku terhenyak. Dua tahun berselang cara pandang tentang cinta picisan lekang. Cara pandang percintaan yang hambar dua sampai lima tahun silam semacam perasaan suka sama suka antar anak turun adam-hawa kini makin lain segar. Ia memang sudah sampai pada titik menjadi nahkoda yang kemudikan bahtera. Diombang-ambing gelombang sudah jadi sarapan. Aku simak semuanya ceritanya sambil membatin bungah sewajarnya teman sekaligus murid. Seraya mengaminkan inginnya tuk kemudikan bahteranya ke negeri yang juga membawa Annelies Mellema yang ceria dibungkam adagium hukum ignorantia excusatur non juris sed facti. Annelis manis yang kita sayangkan jadi pesakitan dan mati.
Tapi aku tak menyayangkan juga tak mensangsikan ingin sang guru yang memperkenalkanku dengan Bumi Manusia itu. Begitupun yang ia harapkan kepadaku. Barangkali ia dan aku sama-sama tahu bahwa besar kemungkinan kita akan senantiasa selamat di negeri seberang itu! Entahlah. Kiranya bukan lantaran logika mistika yang notabene memberi ketenangan dan nafas panjang harapan bahwa Tuhan selalu tidak tegaan kepada para pencari berkah keilmuan, melainkan tentang ia dan aku sama-sama dan kerap melahap asam garam keterdesakan.
Warkop legenda riuh saja. Aku masih tetap menggondol arah obrolnya. Ia jadi mengingatkanku pada rumus hidup kependekaran. Bahwa semakin sangar pendeker semakin ia sering melatih dan meletihkan dirinya dalam ruang gelanggang yang sempit. Aku juga teringat sebuah film tentang tradisi sitobo lalang lipa. Semakin terdesak, semakin ia mengoptimalkan seluruh daya dan akalnya sebagaimana survivalitas purba untuk selamat. Untuk hidup.
Ingatanku dilempar pula ke belakang. Agaknya aku sering juga mengalami keterdesakan yang lebih berat dari situasiku sekarang. Keterdesakan yang memantik kenekatan, keutuhan iman yang bulat-padat serta daya tempur yang 10 x atau bahkan 100 x lebih besar dari mereka yang berada di zona nyaman.
"Beriring dengan keterdesakan ialah ketercukupan" ujar guru itu.
Aku akui untuk petuahnya yang satu itu, aku tak cukup cakap memahaminya. Apakah kira maksudnya bahwa keterdesakan memang kerap kali memunculkan satu keajaiban rezeki yang bocor ketidaktegaan Allah Yang Maha Lembut dan Penyayang itu? Atau keterdesakan memang memukul ambisi manusia hingga titik berdamai dengan situasi dan mensyukuri keadaan hari ini? Atau arti lain ketercukupan yang dimaksud pendidik satu itu ialah sikap prihatin? Mencukup-cukupkan yang mana dalam hitungan matematis minus-nus dari kenormalan?
"Mumpung masih ada waktu dan belum menjajaki umur 40. Tingkatkan kemampuanmu itu," tambahnya.
"Tapi memang kurasa gerakku cukup lamban di usiaku sekarang. Barangkali bukan karena zona nyaman melainkan memang ada sekian beban dan perhitungan yang belum masuk hitungan aman. Hingga pada akhirnya ada semacam ketakutan akan masa depan yang sulit digerayang"