Kadang saya sering berpikir kenapa saya sampai detik tulisan ini belum sukses barangkali memang salah satunya tak lain memang Emak menghendaki anak-anaknya selamat daripada sukses. Sukses sekadar menjadi bonus setelah selamat. Dan bukankah ngurupi urip dalam alam pikir Jawa tak lain tujuannya cuma selamat bagi diri sendiri dan membantu orang lain turut selamat di dunia dan akhiratnya?
Doa Emak saat itu jadi hadiah terbaik bagi saya. Tak lupa juga Bapak turut mendoakan hal serupa.
Dalam kembara pikirku, saat menulis catatan ini saat melihat dua puluh tujuh tahun silam saya menyadari satu hal, "ternyata sebanyak apapun kekalahan yang sudah saya alami, nyatanya lebih bayak keselamatan yang sudah saya rasakan. Tak lain lagi-lagi berkat keramat doa kedua orang tua terutama doa Emak".
Dorongan doa dan pembelajaran akan ketidakmenyerahan itulah yang membuat niat juang tak setengah-setengah. Dan bukankah niat juang yang tak setengah-setengah itulah salah satu syarat kemenangan? Bukan memenangi pertaruhan namun juga memenangi batas-batas ketakutan diri atau yang orang sebut ketidakmungkinan!
Kembara pikirku, ke beberapa tahun lalu. Saya menemukan diri tengah duduk melingkar di sebuah pepunden. Di tengah kami seorang kakak seperguruan memberi pesan, "Dik, kalau kamu sudah yakin (baca:yakin jalanmu bener, caramu pener) mau nyebrang kali dan kamu sudah basah nyemplung ke kali bersetialah hati dan jangan pikir kembali. Sepiro gedhene sengsara yen tinampo among dadi cubo. Begitulah pesan Pandhita Wesi Kuning, R.M Imam Koesoepangat."
Wejangan itu barangkali memang dalil yang sedari kecil memang tidak terucapkan oleh Emak meskipun memang Emak sudah melampaui segala macam pengucapan -- Emak nglakoni dalam laku keseharian. Hujan, panas, jual sayur keliling pagi sampai siang. Sore sampai malam masih rewang (baca: jadi pembantu di rumah juragan beras langganan sayurnya) cuma agar anaknya bisa lebih baik. Emak merdeka dari segala bentuk keegoisan diri. Emak wariskan ilmu yang lebih baik dari segala bentuk harta. Begitu pun dengan Bapak. Tak ada sengsara hanya cobaan biasa yang pasti bisa dilampaui manusia!
Kembara pikirku, balik ke detik saat saya tengah mengetik. Tantangan yang tepat di depan mata antara kebutuhan kerja dan kewajiban belajar. Kuatkah badan, jiwa atau pikiran ini nglakoni?
Hal-hal aneh terlintas begitu saja: kerja malam 9 jam, jam tidur pasti berkurang, ngangsu kaweruh 5 jam, tersisa 10 jam untuk istirahat dan hal-hal lain. Sehat? Sakit? Membayang.
Hal-hal lucu pun muncul di waktu silam: sekolah pagi sampai siang 8 jam, latihan pencak 6 sampai 8 jam, tersisa 8 sampai 10 jam. Sehat? Sakit? Teringat.
Saya menangguk kecil. Saya pernah sampai ke seberang kali dengan selamat dan saya musti dan akan sering kali menyebrang kembali dengan selamat sebab belum saatnya ngunduh wohing pakarti, menikmatiya dan membaginya pada keluarga tercinta.
Madiun, 11 Januari 2023 -- Yogya, 17 Januari 2023.