Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya atau disingkat PSMS, adalah klub sepakbola kebanggaan masyarakat Kota Medan, bahkan mungkin hampir seluruh masyarakat Sumatera Utara. PSMS sejatinya adalah ikon, bukan saja ikon bagi persepakbolaan Kota Medan tapi juga ikon bagi kota itu sendiri.
Klub berjuluk Ayam Kinantan yang didirikan pada tanggal 21 April 1950 ini dikenal dengan tipe permainan khasnya rap-rap, yakni sepakbola berkarakter keras, cepat dan ngotot namun sportif. Sejak masa awalnya, klub yang bercirikan seragam hijau-hijau ini telah melahirkan banyak nama besar di kancah persepakbolaan nasional. Sebut saja Wibisono, Ronny Pasla, Nobon, Parlin Siagian, Zulkarnaen Lubis, hingga yang agak kekinian generasi Saktiawan Sinaga dan Marcus Harison.
Pada masa jayanya dulu, sejak era kompetisi perserikatan, PSMS adalah lawan sepadan bagi tim-tim besar lain seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya atau Persib Bandung. Tak pelak, banyak gelar juara sudah direngkuh dari ajang komptisi atau turnamen. Termasuk di turnamen internasional Aga Khan Gold Cup sebagai juara di tahun 1967 dan Marah Halim Cup tahun 1973.
Tapi, sekelumit sejarah tadi kini sepertinya hanya menyisakan nostalgia, betapa kini PSMS terpuruk hingga tak lagi begitu diperhitungkan dalam persaingan elit sepakbola nasional. Catatan terakhir, PSMS tak bisa meloloslan diri dari persaingan 16 Besar Indonesia Soccer Championship (ISC) Seri B. Ya, hanya seri B alias kasta kedua kompetisi sepakbola nasional.
Memang, sejak era kompetisi perserikatan berakhir dan masuk era kompetisi semi profesional Liga Indonesia (Ligina), Ayam Kinantan seperti mulai kehilangan taji.
Pada masa itu, PSMS mengalami naik turun pestasi, Bisa dikatakan PSMS lebih sering menghuni papan tengah klasemen wilayah.
Masih teringat di masa suram itu, tiap kali PSMS bermain hanya sedikit penonton ke Stadion Teladan. Cinta suporter sepakbola Medan bahkan sempat beralih ke tim sekota, PS Medan Jaya, yang justru menunjukkan prestasi lebih mentereng sehingga suporter berbondong-bondong menyaksikan tiap klub berjuluk Kijang Sumatera itu main di Teladan.
Prestasi terbaik PSMS di era kompetisi semipro ini adalah semifinalis Ligina V dan Ligina VII, bahkan sempat jadi finalis Ligina XII tahun 2007 walau kemudian terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2008. Beruntung musim berikutnya bisa naik lagi ke Divisi Utama sehingga berhak masuk ke Liga Super.
Masuk ke era Liga Super Indonesia, kondisinya juga tak jauh berbeda. Bahkan ceritanya lebih kompleks, mulai dari eksodus besar-besaran para pemain bintang karena masalah gaji, Stadion Teladan yang tak lulus stratafikasi Liga Super hingga membuat PSMS menjadi tim ‘musafir’ yang berpindah-pindah homebase, sampai masalah perpecahan di tubuh tim.
Mengawali Liga Super pun sudah dengan sangat buruk, PSMS berkutat di zona degradasi sepanjang paruh musim pertama. Hingga di akhir kompetisi harus finish di urutan ke-15 yang mengharuskan tim Ayam Kinantan menjalani laga play-off menghadapi Persebaya Surabaya.
Ceritanya sudah diketahui bersama; pada kompetisi tahun 2011/2012 itu PSMS kembali terdegradasi ke Divisi Utama setelah takluk 6-7 lewat drama adu penalti di Stadion Siliwangi Bandung. Â Jadilah sejak itu PSMS terus berkutat di Divisi Utama.