Mohon tunggu...
Eko Wahyudi
Eko Wahyudi Mohon Tunggu... -

anak lereng gunung, kesehariannya "momong" anak-anak tetangga, yang ingin berbagi, belajar dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Awas! Hati-hati Bermain Sulap di Depan Anak

18 Maret 2012   15:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:51 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa kanak – kanak adalah masa dimana seorang anak baru rajin – rajinnya “copy paste” dari apa yang dilihat dan didengar. Apapun yang mereka alami akan selalu direkam dan akan “diputar” lagi. Maka sebagai orang tua sudah seharusnya memberikan “file” yang baik agar ketika sang anak me”copas” hasilnya juga akan baik. Namun sebaliknya, jika apa yang dilakukan orang tua kurang baik maka dikhawatirkan sang anak juga akan meniru seperti apa yang dilakukan orang tuanya.

Pada masa kanak – kanak pula, mereka juga melewati fase”curiosity” atau fase rasa ingin tahu yang tinggi. Pada masa ini segala hal yang bersifat baru menurut sang anak, ia ingin sekali mengetahuinya. Mereka belum bisa membedakan apakah hal yang baru tersebut baik atau buruk. Yang penting mereka belum mengetahui sebelumnya maka mereka ingin mencoba hal yang baru tersebut. Sekali lagi, sebagai orang tua hendaknya bisa memilihkan sesuatu yang baru bagi anaknya mengandung nilai pendidikan dan kebaikan.

Salah satu sesuatu yang baru dan sangat disukai oleh anak – anak (bahkan “mantan” anak – anak juga) adalah permainan sulap. Lalu apakah permainan sulap ini baik bagi anak – anak ?. Jawabannya tentunya tergantung dari mana cara pandang dan penyajiannya yang tepat bagi anak – anak. Bila permainan sulap ini disajikan kepada anak – anak pada masa curiosity, hendaknya harus diikuti “translation” yang tepat agar anak mengetahui yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia kalau permainan sulap ini 99 % mengandalkan “trik” untuk bahasa halusnya, secara kasar permainan sulap itu mengandalkan tipuan semata. Nah, kalau sesuatu yang “menipu” ini tidak dibarengi dengan penjelasan yang tepat, tidak tertutup kemungkinan anak – anak yang menyukai sulap ini juga akan mewarisi watak menipu (walaupun bukan karena sulap semata seandainya ada anak kecil yang sudah fasih menipu). Atau jangan – jangan anak – anak penikmat sulap akan dihinggapi penyakit yang serba instan dan tidak mau bersusah payah. Karena seperti yang mereka lihat pada permainan sulap segala sesuatunya bisa didapat dengan mudah dan instan. Hanya dengan mengucapkan mantra “sim salabim” sesuatu itu sudah ada di tangan pesulap. Apa yang saya ungkapkan di atas adalah hasil analisa saya pribadi berkenaan dengan pengalaman saya beberapa tahun yang lalu ketika anak pertama saya masih balita.

Ketika anak pertama saya masih berusia sekitar 2 – 3 tahun, saya sering sekali menghiburnya dengan permainan sulap sederhana. Pada saat saya memperagakan permainan sulap sederhana ini, ia nampak sangat menyukai. Bahkan nampak sekali diraut mukanya ada rasa “bangga” karena bapaknya pandai bermain sulap. Yang saya rasakan pada waktu itu kurang lebihnya juga sama seperti yang dirasakan anak saya, senang dan bangga. Betapa tidak, setiap kali saya memainkan sulap yang bisa menghilangkan sesuatu dan menghadirkannya kembali dengan cepat, anak saya selalu berkata “Bapak..pintar…bapak…hebat…gimana pak kok bisa hilang…loh datangnya dari mana pak kok tiba – tiba keluar dari mata…” dan masih banyak lagi ungkapan – ungkan senang dari anak saya tersebut. Bahkan saking senangnya, tidak terpikirkan bahwa sebenarnya saya sedang memberikan contoh ”menipu” kepada anak saya tersebut. Dan secara tidak sadar saya telah mengajarkan kepada anak saya dengan “pelajaran” pola pikir instant.

Hal ini saya ketahui ketika pada suatu saat anak saya menangis mencari mainannya yang hilang. Pada waktu itu, saya baru saja pulang kerja. Ketika saya masuk rumah, saya mendapati anak saya sedang menangis. Sementara ibunya dengan agak sewot sedang bongkar – bongkar tempat mainan. Begitu anak saya tahu kalau bapaknya pulang, maka dengan cepat ia bangkit dari duduknya dan berlari menghampiri saya yang belum sempat duduk sembari berkata disela – sela tangisannya. “Bapak…bapak… cepat bantuan adik cari mainanku…cepat pak disulap biar mainan adik ketemu”. Mendengar permintaan anak saya tersebut dalam hati saya berkata “ Kenak..loe…rasain…”. Untuk beberapa saat saya tidak bisa berkata apa – apa selain menyesali apa yang telah saya pertontonkan kepada anak saya. Melihat bapaknya kebingungan, anak saya justru semakin bersemangat meminta saya untuk menyulap agar mainannya segera ketemu. “Ayo..pak..cepeten disulap…bapak kan pinter main sulap..ayon dong pak cepetan disulap”. Maka dengan pelan mencoba menenangkannya.

“Bapak kan masih capek, bapak kan baru pulang kerja…nanti saja kalau bapak sudah hilang capeknya.”

“Gak mau..gak mau…pokoknya sekarang…”. Kata anak saya sambl terus menangis, semakin keras malah.

Maka dengan terpaksa saya mengeluarkan “jurus” berbohong lagi, karena saya pikir tidak mungkin untuk menjelaskan permainan sulap yang sebenarnya pada saat genting seperti itu.

Berdasarkan pengalaman di atas, maka saya tidak mengulangi lagi untuk anak saya yang kedua. Walaupun saya men”demonstrasikan” untuk anak saya yang nomor dua, maka pada saat itu juga saya perlihatkan rahasia yang sesungguhnya, agar ia tidak menganggap bapaknya memiliki “kehebatan” bermain sulap. Dan saya pikir sangat perlu mendampingi anak khususnya yang masih balita ketika menonton acara sulap baik di televisi maupun di acara sulap“off air”. Kemudian memberikan penjelasan singkat berkaitan dengan sulap yang dilihatnya. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun