Lima belas tahun sudah kutinggalkan desa ini. Tak ada yang bisa kubedakan saat ini dengan saat kutinggalkan. Gunung, sungai, dan sawah-sawahnya masih tetap seperti dulu. Kenangannya masih membekas di benakku hingga kini. Tawa dan canda kami seolah masih terdengar di tempat-tempat itu. Pun Suara kecipak air sungai di mana dulu kami biasa mandi-mandi sepulang dari sawah. Tawa kami berdua serasa masih terdengar jelas di telingaku, seolah tiada duka dan lara yang kami rasakan. Hanya kegembiraan bersama. Masih bisa kulihat bayangan kami berdua berlari-lari di pematang sawah. Saling berkejaran di antara butiran padi yang hampir menguning. Dan tiba-tiba bayangan itu perlahan menghilang.
Ku hela nafas, kusandarkan badan pada gubuk di pinggir sawah. Semilir angin sawah, sepoi-sepoi membelai wajahku. Masih jelas terbayang wajah manisnya.  Tiba-tiba rasa kangen membalut hati dan perasaanku. Menghangatkan jiwaku. Dimanakah dia berada sekarang? Rasanya ingin sekali bertemu dengannya.
Hai....Arman !!! Seperti ada suara yang memanggilku. Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu. Suara itu dari arah jalan desa. Kulihat seorang gadis melambai-lambaikan tangannya. Rambutnya panjang terurai. Sepertinya aku mengenalnya. Gadis itu masih berdiri di pinggir jalan. Bisa kulihat wajah cantiknya. Putih berseri berkilauan. Ya, bayangan masa laluku menjelma menjadi gadis cantik di depanku. Dia, adalah gadis masa laluku yang kembali secara tiba-tiba di hadapanku. Apakah ini sebuah keajaiban? Hampir tak bisa kupercaya. Keberlari menjemputnya. Tak bisa kulukiskan suasana hatiku. Dan kini aku telah berdiri di hadapannya. Kami saling memandang. Dengan pancaran mata yang berbinar. Tanpa malu kupeluk dia. Dan dia mendekapku. Rasa rindu itu seketika pecah.
Nisa? Benarkah ini kamu? Gadis di hadapanku itu mengangguk-angguk kegirangan. Iya, Arman, ini aku. Tak bisa kupercaya kita bertemu di sini. Apakah ini mimpi? Apakah kamu mempercayai ini? Coba tepuk pipiku. Benarkan, aku tak sedang bermimpi? Iya, aku juga tidak percaya, kita bisa bertemu seperti ini. Kami pun saling berpelukan lagi. Seakan rindu itu belum bisa hilang.
Hai manis, apa kabarmu? Kamu semakin cantik saja? Kenapa tiada kabar? Kita ngobrol saja di gubuk itu. Kami pun bergandengan tangan menuruni sawah menuju gubuk. Duduk berdua. Sambil tetap memandangi satu sama lain.
Kamu masih seperti Arman yang kukenal dahulu. Bedanya...Dan kata-kata itu terhenti dari mulutnya yang mungil.
Apa bedanya, hayo?!
Bedanya...sekarang kamu lebih ganteng...Hahaha....Tawanya berderai hingga kelihatan gigi-giginya yang putih. Aku menyukai pemandangan wajah di depanku saat ini.
Nisa, kamu belum jawab pertanyaanku tadi? Kusentuh rambutnya yang tergerai dipundaknya. Aku sudah tidak sabar mendengar jawabannya.
Yah...seperti yang sudah kamu lihat sendiri. Aku baik-baik saja kan? Kamu? Gimana kabar kamu? Kamu juga tidak pernah kasih kabar ke aku....Kamu lenyap bagai ditelan bumi. Tangannya meraba-raba wajahku. Lalu, bagaimana bisa kamu ada di sini?
Kamu mau tahu jawabannya? Aku rindu masa lalu kita. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, bukan? Kamu tahu kan, siapa masa lalu itu? Kuelus pipinya. Masa lalu itu kamu, Nisa.