Mohon tunggu...
Eko Hastuti
Eko Hastuti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis untuk mengembangkan diri

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Banjir Bandang dan Rendeng Emas

28 Februari 2012   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:47 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan kembali turun
Gemericiknya semakin keras
Tak peduli wajah-wajah ngeri
Hati tersayat petaka banjir bandang
Yang kepiluannya masih terngiang

Jantung berdetak kencang
Merenung tubuh – tubuh kaku menggulung bersama air
Merintih perih tubuh biru lebam terhantam batu
Yang angkuh menyambut banjir bandang
Tak peduli jeritan kesakitan mengerang
Pada jiwa-jiwa melayang

Siapa berani melawan
Kala air tak lagi jadi kawan
Datangnya sontak bak musuh menghantam lawan
Ah...lalu siapa yang disalahkan?
Tuhan sang pemilik air
Oknum si perambah hutan
Anu si penebang pohon serampangan
Si A yang membabat habis pepohonan pelindung
Pohon keras berakar pengikat tanah di lereng terjal

Tak ada yang tahu pasti
Konon mitos rendeng emas menggurat
Melegenda warga Tieng, Kejajar
Jangan petik rendeng emas
Jangan cabut pohon perdu di kaki gunung Pakuwojo
Simpan parangmu
Letakkan sabitmu
Kalau tak ingin bencana menemuimu
Biarkan Telaga Cebong Desa Sembungan tetap jernih
Menjadi teman mengihasi kehidupan
Dengan pesonamu yang mengagumkan

Konon Rendeng Emas
Antanan penyembuh luka
Harus dijaga, dilindungi , generasi ke generasi
Kalau tak ingin Telaga jebol
Pintu air menganga
Meluluhlantakkan semua

Hujan masih bernyanyi
Mengiringi tangis nan memilukan hati
Hujan terus bernyanyi
mengabaikan derita hilangnya sanak saudara
lenyap bersama banjir bandang yang menggila
dan hujan akan terus datang
sampai hutan kembali rimbun
Rendeng Emas kembali jaya
Menjulang mengangkasa
Dengan hijau daunmu yang rimbun
Dengan batangmu yang tegap anggun
Dengan akarmu nan kuat mencengkeram tanah gembur

Gunung tak lagi gundul
Lerengmu tak memanen batu
Liuk-liuk terasering berjajar rapi
Beiring pohon keras penopang erosi
Tanah kembali pekat,
Tak lagi gembur penuh obat
Peracun tanah
Yang menawarkan kenikmatan sesaat
Namun deritanya sepanjang hayat

Ya, Robbi
Ampuni dosa-dosa kami
Yang tak lagi peduli
Pada hutan
Pada pohon
Pada air
Pada kelestarian bumi
Yang semestinya tempat kami berbagi
Hingga musibah Minggu, 18 Desember 2011
Takterulang lagi
Meski hujan terus bernyanyi

Biarkan Telaga Cebong Desa Sembungan tetap jernih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun