Sungguh ironis, dengan adanya berbagai kebijakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, guru bagaikan telur diujung tanduk. Bagaimana tidak, di satu sisi peran guru adalah pengajar, pendidik dan pelatih. Guru dituntut mengajarkan ilmunya kepada peserta didik, transfer of knowledge. Guru dituntut untuk bisa mendidik peserta didiknya agar mempunyai sifat dan sikap yang santun, anggun dan bermoral. Dan guru dituntut untuk bisa melatih peserta didiknya agar terbiasa untuk disiplin, tidak putus asa dan bekerja keras.
Di sisi lain, dengan berubahnya sistem penilaian kelulusan peserta didik di SD/MI yang tidak lagi menjadikan nilai Ujian Nasional (UN) sebagai satu-satunya patokan kelulusan peserta didik, diakui atau tidak telah meringankan beban peserta didik dan guru. Guru tidak lagi harus bersusah payah mengatur strategi agar semua peserta didiknya mendapatkan nilai yang tinggi dalam UN. Sebagaimana kasus di Surabaya, contekan masal yang digagas pihak sekolah yang akhirnya dibongkar seorang orang tua peserta didik. Dan banyak lagi kasus-kasus dimana pihak sekolah yang telah dengan sengaja mengatur contekan masal selama UN berlangsung sebagai usaha terakhir dalam mendongkrak nilai UN peserta didiknya.
Apakah berubahnya sistem patokan penilaian kelulusan, yang sekarang juga mempertimbangkan nilai raport dari kelas 4 sampai 6, telah berhasil mengatasi masalah?
Oh, tidak bisa. Justru timbul masalah baru.
Bagaimana tidak, untuk mengantisipasi anjloknya nilai UN peserta didik, maka nilai raport peserta didik harus tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa Nilai Akhir = NS (40%) + UN (60%). Sedangkan NS = nilai rapor (40%) + US (60%). Disinilah masalah itu timbul. Kok bisa? Sekarang beban berat juga harus dipikul oleh guru kelas 4, 5 dan 6. Mereka harus mengupayakan nilai raport peserta didik mulai dari kelas 4 sampai kelas 6 harus baik. Mengantisipasi jika nilai UN mereka anjlok. Entah bagaimana caranya, pokoknya nilai raport harus bagus. Di-remidi, dikatrol, bahkan disulap. Emang guru sekarang juga tukang sulap?
Ironis, seolah budaya membangun kejujuran akademik dikesampingkan ketika guru harus, mau tidak mau, memberi nilai raport yang tinggi. Meskipun ada sich beberapa guru yang tetap perpendirian bahwa nilai raport peserta didik tidak boleh dikatrol ataupun disulap. Salut buat mereka.
baca selengkapnya di blog saya: http://madyoi.blogspot.com/2012/04/budaya-meng-katrol-nilai-raport.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H