Mohon tunggu...
Eko Hartono
Eko Hartono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Freelance

Berbuat yang terbaik dan menjadi pribadi yang baik

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Catatan Pendek: Proses Kreatif Sebuah Tulisan

23 Desember 2011   22:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:50 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

SKENARIO : AMIN INGIN BERTEMU PAK MENTERI (PERAIH NOMINASI 10 NASKAH PILIHAN LOMBA MENULIS CERITA FILM 2011, KEMENTRIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF) Saya pernah mendengar ungkapan dari seorang penulis ternama -saya lupa namanya- bahwa sebuah tulisan memiliki takdir sendiri. Karena tulisan hakekatnya adalah 'anak' yang lahir dari kreatifitas penulis, maka nasibnya tergantung bagaimana usaha penulis untuk membuatnya eksis. Apakah ia akan dibiarkan saja tersimpan di folder untuk selamanya atau terpublikasi di media? Harapan semua penulis tentu ingin tulisannya terpublikasi dan lebih utama lagi bisa laku. Sebab, ada juga tulisan yang terpublikasi tanpa dapat kompensasi apa-apa kecuali kepuasan batin. Tapi apa pun bentuk penghargaan yang diterima, sebuah tulisan tetap memiliki arti dan nilai! Sebuah tulisan memiliki jodoh dan rejekinya masing-masing. Mungkin ada penulis -biasanya para newbie- mengeluh tulisan hasil karyanya; entah itu berupa cerpen, artikel, novel, dll gagal nembus media atau penerbit. Kegagalan ini jangan disikapi dengan pesimis atau frustasi. Perlu dikoreksi dan re-edit, karena boleh jadi tulisan kita kurang matang atau kita salah menyasarkan tulisan ke media yang dituju. Jangan salah, tidak semua redaktur dan editor memiliki selera sama. Saya pernah punya pengalaman; cerpen saya ditolak di sebuah koran tapi diterima di koran lain. Bahkan pernah tulisan saya ditolak oleh beberapa penerbit, tapi ketika saya ikutkan lomba menulis tingkat nasional dapat juara! Aneh bin unik, bukan? Jadi, jangan pernah men-delete sebuah tulisan. Tetap simpan di folder, siapa tahu suatu ketika akan berguna. Hanya persoalan waktu saja, kapan ia akan menemukan 'jodoh'nya. Tak perlu ragu mengedit ulang atau merevisinya dan mencoba mengirim ke media lain. Di komputer saya tersimpan banyak cerpen, novel, dan beberapa tulisan lain. Sebagian besar banyak yang diretur, tapi saya yakin 'mereka' hanya butuh jalan dan momen yang pas untuk sebuah 'pinangan'. Seperti halnya dengan naskah skenario saya yang berjudul: AMIN INGIN BERTEMU PAK MENTERI. Naskah tersebut masuk 16 nominasi naskah terbaik LOMBA MENULIS CERITA FILM 2011. Walau kemudian tidak menang dan hanya masuk nominasi 10 besar, tapi bagi saya itu merupakan berkah luar biasa. Apalagi ini adalah tulisan skenario saya yang pertama, belajar menulis skenario pun secara autodidak (buka-buka info di internet), dan baru pertama ikut lomba yang berhubungan dengan film (biasanya ikut lomba cerpen, novelet, dan novel). Naskah tersebut saya tulis sebelum lomba itu dibuka. Awalnya dari chatting dengan mas Hanung Bramantyo lewat facebook. Siapa tak kenal mas Hanung yang sutradara ternama itu? Tadinya iseng saja saya mengemukakan gagasan bikin cerita film bertema kritik sosial (FTV) dan meminta bantuan beliau menyalurkan ke PH atau broadcast TV. Ternyata mas Hanung menyambut baik dan meminta saya menuangkan gagasan tersebut dalam bentuk sinopsis. Beliau minta dikirim ke emailnya. Saya pun senang bukan main. Saya segera menuliskan gagasan tersebut ke dalam bentuk sinopsis, kali ini tentu saja serius. Setelah jadi langsung saya send. Saya dapat jawaban dari mas Hanung kalau dia sudah baca dan bilang; bagus. Naskah tersebut telah diforward ke seorang produser temannya. Saya disuruh menunggu jawaban apakah ditolak atau diterima. Mas Hanung hanya bisa membantu sebatas itu, karena beliau sendiri sedang sibuk promo untuk film terbarunya. Sudah seminggu menunggu, belum juga ada jawaban. Saya kontak mas Hanung lagi, beliau mengatakan sudah ngasih nomer HP saya ke produser tersebut. Mungkin pihak produser sedang sibuk dengan proyek lain jadi tak sempat baca naskah saya. Sambil menunggu saya membuat skenario atas sinopsis tersebut (untuk berjaga-jaga kalau nanti ada jawaban saya sudah siap dengan skenarionya), lalu saya send ke email mas Hanung pada tanggal 18 Januari 2011. Saya kontak lagi mas Hanung, beliau menjamin naskah saya aman di inboxnya. Beliau bersaran untuk mencoba kirim ke PH lain kalau memang dari pihak produser itu belum juga ada jawaban. Kecewa? Tidak! Bagi saya pengalaman seperti ini sudah biasa. Menunggu proses seleksi naskah adalah ritual umum buat semua penulis. Saya pernah dihubungi seorang redaktur media yang memberitahu tulisan saya akan dimuat. Ketika saya cek ke arsip; ternyata itu naskah yang pernah saya kirim 3 tahun silam! Bayangin, 3 tahun diseleksi baru dipublikasi! Fenomenal! Setelah itu saya tak pernah mengontak Mas Hanung lagi. Bukan kenapa, tapi saya nggak enak saja mengganggu beliau karena beberapa kali mengontaknya di tengah kesibukannya. Saya sudah cukup berterima kasih karena mas Hanung sudah membantu semaksimal mungkin dan memberi support. Mungkin memang butuh waktu cukup lama. Sebenarnya sih, saya berharap mas Hanung sendiri yang bersedia mem-follow up naskah saya dan memproduksinya, tapi harapan saya mungkin terlalu tinggi mengingat nama saya di dunia penulisan skenario belum ada apa-apanya dibanding Putu Wijaya, Salman Aristo, Jujur Prananto, dan nama beken lainnya. Suatu ketika saya berkenalan dengan seorang produser sebuah PH baru melalui teman sesama penulis. Sang produser yang masih satu daerah ini sedang ada proyek syuting FTV di tempat kami. Dia menawari saya menulis sinopsis ftv legenda religi untuk ditawarkan ke sebuah tv nasional (saya tak perlu sebutkan namanya). Saya sanggupi tawarannya. Dalam tempo 1 bulan saya bikin 9 buah sinopsis dan langsung saya send ke email si produser. Sinopsis yang saya buat itu diforward ke programer stasiun teve swasta. Beberapa diantaranya sempat diminati dan minta direvisi. Saya pun merevisinya, sementara sang produser meloby ke stasiun teve tersebut. Dia sempat memberi saya angin surga kalau naskah saya 90 persen diterima, tinggal menunggu ACC dari penyelia naskah lainnya. Katanya, di stasiun teve itu ada 4 orang yang menyeleksi naskah. Jika 3 diantara mereka sudah ACC, maka yang 1 lagi pasti akan meng-acc juga. Saya diminta menunggu dan berdoa, semoga naskah saya cepat di-acc dan segera turun produksi. Yang bikin saya semangat menulis sinopsis dan skenario FTV karena kompensasi yang didapat bila naskah saya diterima. Untuk 1 sinopsis dihargai 500 ribu s.d 1 juta, skenario dihargai 3 juta s.d 4 juta, skenario film layar lebar 20 juta s.d 40 juta. Siapa nggak ngiler? Selama dalam jalinan kerja sama dengan sang produser saya pun sempat menitipkan naskah Amin Ingin Bertemu Pak Menteri kepadanya dengan harapan siapa tahu ada stasiun teve yang berminat. Si produser muda ini memang punya pengalaman pernah kerja di beberapa PH besar. Beberapa kali dia datang ke rumah saya bersama para kru PH-nya ngobrolin tentang seputar pertelevisian dan perfilman. Tapi harapan tinggal harapan, setelah menunggu seminggu, dua minggu, hingga satu bulan lebih belum juga ada kepastian bagaimana nasib naskah sinopsis saya, termasuk sinopsis Amin Ingin Bertemu Pak Menteri. Karena tak ada kepastian, saya pun malas mengontak dan meneruskan kerja sama dengan dia. Terakhir nomer ponselnya malah sudah tidak aktif. Cukup kecewa juga, karena sudah capek-capek menulis dan membuang energi serta waktu yang tidak sedikit, hasilnya NOL. Tapi whatever, saya tetap semangat. Saya coba lupakan semua itu. Suatu hari secara kebetulan saya membaca informasi di internet tentang LOMBA MENULIS CERITA FILM 2011 dengan tema Anak-anak dan Kepahlawanan. Saya pun berinisiatif mengirim naskah AMIN INGIN BERTEMU PAK MENTERI, tapi sebelumnya saya revisi dulu untuk memenuhi syarat minimal 90 halaman. Hanya menambah beberapa scene adegan, secara substansial tak berubah isi ceritanya! Begitulah. Naskah yang sempat terombang-ambing dan tak jelas nasibnya itu akhirnya berhasil masuk nominasi 10 besar LOMBA MENULIS CERITA FILM 2011. Ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman ini, yakni sebuah tulisan memiliki takdir sendiri. Sebagai penulis saya cuma bisa berkreasi, memproduksi, dan selanjutnya berusaha menyalurkannya ke media. Jika kemudian ditolak/diretur jangan dulu pesimis, berapa kali pun. Percayalah, setiap tulisan memiliki takdir sendiri. Hanya butuh waktu, jalan, kesempatan, dan momen pas tulisan itu akan menemukan jodoh dan rejekinya. So, bagi para pengarang pemula -bukan bermaksud menggurui- jangan pernah merasa sia-sia dan gagal jika tulisan anda diretur/ditolak/tidak menang lomba, tetaplah pelihara dan jangan ragu untuk memperbagus agar bisa tampil lebih 'cantik' lagi. Suatu ketika pasti akan datang yang meminangnya. Okey? Keep spirit!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun