Mohon tunggu...
Eko Hariyanto
Eko Hariyanto Mohon Tunggu... Penerjemah - Wong Suroboyo

Ayah dari 3 orang anak sholih-sholihah, suami dari istri sholihah. orang biasa yang tak lama lagi di dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Terjemahan Bab Ketiga The Grand Design, What Is Reality? (Full Version)

21 November 2010   19:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:25 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pandangan ini, alam semesta tidak hanya mempunyai keberadaan atau sejarah tunggal, namun mempunyai setiap kemungkinan versi keberadaan secara bersamaan dalam apa yang disebut superposisi kuantum. Mungkin ini terdengar konyol sebagaimana teori di mana meja hilang kapanpun kita keluar ruangan, namun dalam kasus ini teori ini telah lulus setiap ujian percobaan di mana teori ini sebagai subyek.

Beberapa tahun yang lalu dewan kota Monza, Italia, melarang pemelihara binatang untuk memelihara ikan emas di dalam toples lengkung. Sponsor larangan ini menjelaskan sebagian larangan ini dengan mengatakan bahwa adalah kejam memelihara ikan di dalam toples lengkung karena, ketika menatap ke luar toples, ikan akan mengalami pembelokan pandangan mengenai kenyataan. Tapi bagaimana kita mengetahui kita mempunyai gambaran kenyataan yang benar dan tidak terbelokkan? Tidak mungkinkah kita sendiri berada dalam toples ikan raksasa dan pandangan kita terbelokkan oleh lensa-lensa yang sangat besar? Gambaran kenyataan menurut ikan emas berbeda dari pandangan kita, namun yakinkah kita pandangan ikan emas itu kurang nyata? Pandangan ikan emas tidaklah sama dengan pandangan kita, namun ikan emas masih dapat merumuskan hukum ilmiah yang mengatur gerakan benda yang mereka amati di luar toples. Contohnya, karena ada pembelokan, benda yang bergerak bebas yang kita amati bergerak di garis lurus akan diamati oleh ikan emas bergerak di sepanjang jalur lengkung. Namun, ikan emas dapat merumuskan hukum ilmiah dari kerangka acuan terbelokkan mereka bahwa rumusan itu akan selalu berlaku benar dan membuat mereka mampu menduga mengenai gerakan mendatang dari benda di luar toples. Hukum mereka akan lebih rumit daripada hukum di dalam kerangka kita, tetapi kesederhanaan hanya masalah selera. Jika ikan emas merumuskan teori demikian, kita harus mengakui bahwa pandangan ikan emas merupakan gambaran kenyataan yang memadai. Contoh terkenal dari perbedaan gambaran kenyataan adalah model yang diperkenalkan sekitar tahun 150 oleh Ptolomeus (85-165) untuk menggambarkan gerakan benda-benda langit. Ptolomeus menerbitkan hasil karyanya dalam tesis tigabelas buku yang dikenal dengan judul arab, Almagest. Almagest dimulai dari menjelaskan alasan-alasan mengenai gagasan bahwa bumi bulat, tidak bergerak, berada di pusat alam semesta, dan amat sangat kecil dibandingkan jarak antar bintang. Terlepas dari model heliosentris Aristarchus, keyakinan ini dipegang oleh orang terpelajar Yunani setidaknya selama masa Aristoteles, yang meyakini alasan mistik bahwa bumi seharusnya menjadi pusat alam semesta. Dalam model Ptolomeus bumi diam di pusat dan planet-planet dan bintang mengitarinya dalam orbit rumit berbentuk episiklus, seperti roda di dalam roda.

Model ini terlihat alami sebab kita tidak merasa bumi yang kita pijak bergerak (kecuali saat gempa bumi atau saat kita mabuk). Kemudian orang eropa belajar berdasarkan sumber Yunani yang telah diwariskan, sehingga ide Aristoteles dan Ptolomeus menjadi dasar sebagian besar pemikiran Barat. Model alam semesta Ptolomeus diadopsi oleh Gereja Katolik dan diberlakukan sebagai doktrin resmi selama 1400 tahun. Baru pada tahun 1543 ada model alternatif oleh Copernicus dalam bukunyaDe revolutionibus orbium coelestium (Mengenai Revolusi Benda-Benda Langit),diterbitkan baru pada tahun kematiannya (meskipun dia telah mengerjakan teori ini selama beberapa dekade). Copernicus, seperti Aristarchus sekitar tujuhbelas abad yang lalu, menggambarkan sebuah dunia di mana surya diam dan planet-planet mengitarinya dalam orbit lingkaran. Meski gagasan ini tidaklah baru, kemunculannnya menghadapi perlawanan yang sengit. Model Copernicus dinyatakan melawan Injil, yang ditafsiri mengandung ajaran bahwa planet-planet mengitari bumi, meskipun Injil tak pernah jelas menyatakan demikian. Nyatanya, pada waktu injil ditulis, orang meyakini bahwa bumi itu datar. Model Copernicus mengarah ke perdebatan seru apakah bumi diam, yang berpuncak pada pengadilan Galileo atas tuduhan bid’ah pada tahun 1633 karena mendukung model Copernicus dan mempunyai pemikiran “bahwa seseorang boleh berpegang dan mempertahankan pendapatnya setelah pendapat itu dinyatakan  dan dianggap melawan Ayat-Ayat Suci.” Dia dinyatakan bersalah, dipenjara  seumur hidup dan dipaksa untuk menarik kembali pernyataannya. Diriwayatkan dia selalu berbisik “Eppur si muove,””Tapi itu tetap bergerak.” Pada tahun 1992 Gereja Katolik Roma akhirnya mengakui bahwa adalah suatu kesalahan menghukum Galileo. Jadi mana yang nyata, sistem Ptolomeus atau Copernicus? Meskipun bukanlah ganjil bagi orang-orang ketika berkata bahwa Copernicus membuktikan bahwa Ptolomeus salah, hal ini tidaklah benar. Seperti pada kasus pandangan normal kita dengan pandangan ikan emas, orang dapat memakai salah satu dari kedua sistem itu sebagai model alam semesta. Untuk mengamati bintang-bintang, kita dapat mengasumsikan apakah bumi atau surya yang diam. Terlepas dari perannya dalam debat filosofis mengenai sifat alam semesta, keuntungan model Copernicus adalah sederhana yaitu persamaan gerakan jauh lebih mudah dalam kerangka acuan di mana surya dalam keadaan diam. Contoh lain kenyataan alternatif terjadi dalam film fiksi ilmiah The Matrix, di mana manusia secara tak sadar hidup dalam kenyataan semu tersimulasi yang diciptakan oleh komputer cerdas agar mereka dapat ditaklukkan dan dijinakkan saat computermenyerap energi biolistrik mereka (apapun artinya itu). Mungkin film ini tidaklah terlalu fiksi karena banyak orang lebih suka menghabiskan waktunya dalam situs kenyataan tersimulasi seperti Second Life. Bagaimana kita tahu bahwa kita bukanlah sekedar karakter dalam opera sabun yang dikendalikan komputer? Jika kita hidup dalam dunia imaginer buatan, kejadian tidak harus masuk akal atau konsisten atau mengikuti sembarang hukum. Alien pengendali mungkin tertarik atau menikmati reaksi kita, misalnya, ketika bulan purnama terbelah dua (QS Al-Qomar (54):1, penerjemah), atau tiap orang di dunia sedang demam kue krim pisang. Namun jika alien memang memberlakukan hukum yang konsisten, tak mungkin kita bisa mengetahui bahwa ada kenyataan lain di balik kenyataan simulasi ini. Mudah untuk menggolongkan dunia tempat alien hidup sebagai “dunia nyata” dan dunia buatan sebagai “dunia palsu.” Tetapi jika – seperti kita – sesuatu yang berada di dalam dunia simulasi dapat menatap alam semesta dari luar, maka mereka akan meragukan pandangan mereka sendiri mengenai kenyataan. Ini merupakan versi modern dari gagasan bahwa kita semua adalah imaginasi dari impian orang lain. Contoh-contoh ini membawa kita pada kesimpulan yang penting dalam buku ini:Tidak ada konsep gambaran kenyataan atau konsep teori kenyataan yang mandiri.Alih-alih, kami akan mengadopsi pandangan yang kami sebut realisme-menurut-model: gagasan bahwa teori fisik atau gambaran dunia adalah sebuah model (umumnya dalam bentuk matematis) dan seperangkat aturan yang menghubungkan bagian-bagian model dengan pengamatan. Ini menghasilkan kerangka kerja yang dengannya kami menafsiri sains modern.
Para filosof sejak Plato telah berdebat selama bertahun-tahun mengenai sifat-sifat kenyataan. Sains klasik berdasarkan pada keyakinan bahwa ada dunia luar yang nyata di mana sifat-sifatnya tertentu dan tidak tergantung dari pengamat yang menilainya. Menurut sains klasik, benda-benda tertentu memang ada dan memiliki sifat-sifat fisik, misalnya kecepatan dan massa, yang nilainya sangat jelas. Dalam pandangan ini teori kami adalah usaha-usaha untuk menggambarkan benda-benda itu dan sifat-sifat mereka, dan pengukuran dan persepsi kami  berkaitan dengan mereka. Pengamat dan yang diamati merupakan bagian dari dunia yang obyektif, dan sembarang perbedaan antara keduanya tidaklah berarti. Dengan kata lain, jika anda melihat sekawanan zebra berebut tempat di garasi, maka itu karena memang ada sekawanan zebra berebut tempat di garasi. Semua pengamat yang lain yang melihat akan mengukur sifat-sifat yang sama, dan sekawanan zebra akan tetap memiliki sifat-sifat itu meskipun sembarang orang mengamati atau tidak. Dalam filsafat, keyakinan ini disebut realisme. Meskipun realisme merupakan sudut pandang yang menarik, nanti akan kita lihat, apa yang kami tahu mengenai fisika modern membuat realisme sulit dipertahankan. Contohnya, menurut prinsip-prinsip fisika kuantum, yang merupakan gambaran akurat mengenai alam, sebuah partikel tidak mempunyai posisi atau kecepatan tertentu kecuali dan hingga posisi dan kecepatan ini diukur oleh seorang pengamat. Karena itu, tidak benar mengatakan bahwa suatu pengukuran memberikan hasil tertentu karena kuantitas yang sedang diukur mempunyai nilai tersebut saat pengukuran. Nyatanya, pada beberapa kasus benda-benda bahkan tidak mempunyai keberadaan mandiri namun sekedar ada sebagai bagian dari susunan yang terdiri dari banyak benda. Dan jika suatu teori yang disebut prinsip holografik terbukti benar, kita dan dunia empat dimensi kita mungkin hanya bayangan di tepian ruang-waktu lima dimensi yang lebih besar. Pada kasus ini, status kita di alam semesta serupa dengan status ikan emas. Ahli realisme yang kolot sering berpendapat bahwa bukti  di mana teori ilmiah menggambarkan kenyataan bersandar pada keberhasilan mereka. Namun teori-teori lain dapat berhasil menggambarkan fenomena yang sama melalui kerangka kerja konsep yang berbeda. Nyatanya, banyak teori ilmiah yang telah berhasil dibuktikan kemudian diganti oleh teori lain yang sebanding berdasarkan konsep baru mengenai kenyataan yang sama sekali baru. Secara tradisional, orang-orang yang tidak mengakui realisme disebut anti-realis. Anti realis berpandangan ada perbedaan antara pengetahuan empirik dan pengetahuan teori. Mereka biasanya berpendapat bahwa pengamatan dan penelitian memang bermanfaat tetapi teori-teori  ini hanyalah sekedar instrumen yang tidak memunculkan kebenaran yang lebih dalam berdasakan fenomena yang diamati.  Beberapa anti realis bahkan telah membatasi sains hanya untuk benda-benda yang dapat diamati. Untuk alasan ini, banyak ilmuwan pada abad sembilanbelas menolak gagasan-gagasan mengenai atom dengan alasan kita tak penah melihatnya. George Berkeley (1685-1753) bahkan pergi lebih jauh dengan mengatakan tidak ada apapun selain pikiran dan gagasan-gagasannya. Ketika seorang teman mengatakan pada Pengarang dan Leksikografer Inggris Dr. Samuel Johnson (1709-1784) bahwa tidak mungkin pendapat Berkeley dibantah, diriwayatkan Johson menanggapinya dengan berjalan menuju batu besar, menendangnya dan berseru.”Karena itu aku menolaknya.” Tentunya rasa sakit Dr Johnson yang dirasakan pada kakinya juga merupakan gagasan dalam pikirannya, maka sebenarnya dia tidak menolak gagasan Berkeley. Namun tindakannya ini  benar-benar menggambarkan pandangan filosof David Hume (1711-1776) yang menulis bahwa meskipun kita tidak mempunyai alasan kuat untuk memercayai kenyataan obyektif, kita tidak mempunyai pilihan selain bertindak seolah-olah itu ada. Realisme-menurut-model mengambil inti semua pendapat dan diskusi dari para filosof realis dan anti-realis.
Menurut realisme menurut-model, tak penting bertanya apakah model ini nyata, yang penting apakah model ini sesuai dengan pengamatan. Jika ada dua model yang keduanya sesuai dengan pengamatan, seperti gambaran ikan emas dan gambaran kita, maka seseorang tak dapat mengatakan bahwa model yang satu lebih nyata dari model yang lain. Seseorang bisa memakai model manapun yang lebih nyaman pada situasi yang dia sadari. Contohnya, jika  seseorang di dalam toples, pandangan ikan emas akan berguna, tapi untuk yang berada di luar, akan sangat tidak nyaman melukiskan kejadian-kejadian dari galaksi yang jauh dengan memakai kerangka kerja sebuah toples di bumi, terutama karena toples akan bergerak seiring bumi mengitari matahari dan mengitari porosnya. Kami membuat model pada sains, tetapi kami juga membuat model dalam kehidupan sehari-hari. Realisme menurut-model berlaku tidak hanya pada model ilmiah tetapi juga pada model mental sadar dan bawah-sadar yang kita semua ciptakan untuk menafsiri dan memahami dunia sehari-hari. Tak mungkin menghilangkan pengamat – kita – dari persepsi kita tentang dunia, yang tercipta melalui pemrosesan indera kita  dan melalui bagaimana kita berpikir dan berpendapat. Persepsi kita – dan tentunya pengamatan di mana teori-teori berdasar  — bukanlah langsung, tetapi lebih dibentuk oleh jenis lensa, struktur penafsiran dari otak manusia. Realisme menurut-model bersesuaian dengan cara kita menanggapi benda. Ketika melihat benda, otak seseorang menerima sinyal-sinyal berurutan dari saraf penglihatan. Sinyal ini bukan berupa sejenis gambar yang anda lihat di televisi. Ada titik buta di mana saraf penglihatan bertaut dengan retina, dan satu-satunya bagian area penglihatan anda dengan resolusi yang baik adalah daerah sempit sekitar 1 derajat sudut visual sekitar pusat retina, daerah selebar jempol anda bila ditaruh di lengan. Maka data mentah yang dikirim ke otak adalah seperti gambar buruk dengan lubang di dalamnya. Untungnya, otak manusia memroses data itu, menggabungkan input dari kedua mata, mengisi celah-celah dengan asumsi bahwa sifat-sifat visual dari lokasi yang berdekatan adalah serupa dan otak lalu menyisipkannya. Malahan otak membaca kisaran data dua-dimensi dari retina lalu menciptakan darinya kesan ruang tiga-dimensi. Dengan kata lain, otak membangun gambaran mental atau model. Otak begitu bagus dalam membangun model sehingga jika orang yang memakai kacamata yang membalik gambar atas-bawah pada mata mereka, setelah beberapa saat otak mereka akan mengubah model sehingga mereka kembali melihat benda-benda itu tidak terbalik. Jika kacamata itu lalu dilepaskan, mereka melihat dunia terbalik untuk sesaat kemudian beradaptasi kembali. Ini menunjukkan bahwa apa yang orang maksudkan saat mengatakan “Saya melihat kursi” hanyalah berarti bahwa dia telah memakai cahaya yang dipancarkan oleh kursi untuk membangun gambaran mental atau model dari kursi itu. Jika model itu terbalik, untungnya otaknya akan membetulkannya sebelum dia mencoba duduk di kursi itu. Masalah lain yang realisme menurut-model pecahkan, atau setidaknya menghindarinya, adalah pengertian keberadaan. Bagaimana saya tahu bahwa meja itu tetap ada jika saya keluar kamar dan tak dapat melihatnya? Apakah maksudnya saat kita berkata bahwa benda-benda yang tak dapat kita lihat, semisal elektron atau kuark – partikel yang dikatakan membentuk proton dan neutron – ada ? Seseorang dapat mempunyai model di mana meja itu hilang saat saya keluar kamar dan tampak lagi pada tempat yang sama ketika saya kembali, namun tentunya ini akan terasa tidak nyaman. Dan bagaimana bila sesuatu terjadi saat saya keluar, misalnya langit-langit roboh? Dengan memakai model meja-hilang-saat-saya-keluar-kamar, bagaimana saya memahami kenyataan bahwa lain kali saya masuk, meja tampak kembali pecah, di bawah reruntuhan langit-langit? Model di mana meja tetap di tempatnya adalah jauh lebih sederhana dan cocok dengan pengamatan. Ini adalah yang semua orang inginkan. Pada kasus partikel subatom yang kita tak dapat lihat, elektron merupakan model yang berguna yang menjelaskan pengamatan-pengamatan seperti jalur-jalur pada kamar awan dan berkas cahaya pada tabung televisi, juga banyak fenomena-fenomena lain. Diriwayatkan bahwa elektron ditemukan pada tahun 1897 oleh fisikawan Inggris J.J. Thomson di Laboratorium Cavendish di Universitas Cambridge. Dia tengah melakukan percobaan mengenai aliran listrik di dalam tabung kosong, fenomena yang dikenal dengan sinar katode. Percobaannya mengarah ke kesimpulan kuat bahwa sinar misterius tersusun dari “sel-sel darah” amat kecil yang merupakan bahan penyusun atom, yang kemudian disangka sebagai bahan dasar yang tak dapat dibagi lagi. Thomson tidak “melihat” elektron atau percobaannya tidak menunjukkan secara langsung dan tegas. Namun modelnya telah terbukti berhasil diterapkan dari sains dasar hingga rekayasa, dan saat ini semua fisikawan percaya elektron itu ada meskipun anda tak dapat melihatnya.
Kuark, yang juga tak dapat kita lihat, merupakan model untuk menjelaskan sifat-sifat proton dan neutron dalam inti atom. Meskipun proton dan neutron dikatakan terbuat dari kuark, kita tak pernah bisa mengamati kuark karena gaya ikat antar kuark-kuark meningkat seiring pemisahan, sehingga kuark bebas terisolasi tak ada di alam. Alih-alih, kuark selalu ada di kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga (proton dan neutron), atau dalam pasangan satu kuark dan satu anti-kuark (pi meson), dan bertindak seolah-olah mereka disatukan oleh karet gelang. Pertanyaan apakah masuk akal bahwa kuark itu ada jika anda tak pernah dapat mengisolasinya adalah hal yang kontroversial pada tahun-tahun setelah model kuark diajukan pertama kali.  Gagasan bahwa partikel-partikel tertentu terbuat dari kombinasi sedikit partikel sub-subinti menyediakan prinsip utama yang menghasilkan penjelasan yang sederhana dan menarik mengenai sifat-sifat mereka. Namun meskipun para fisikawan sudah biasa menerima partikel yang hanya bisa diketahui ada dari data statistik yang berkenaan dengan persebaran partikel-partikel lain, gagasan untuk membuktikan adanya partikel yang mungkin pada prinsipnya tak dapat diamati adalah terlalu berlebihan bagi kebanyakan fisikawan. Namun setelah bertahun-tahun seiring model kuark mengarah ke prediksi yang lebih dan lebih tepat, para penentang itu makin kabur. Tentu saja mungkin bahwa beberapa alien dengan tujuhbelas lengan, mata inframerah, dan suka meniup krim dari telinga mereka akan membuat percobaan yang sama dengan kita, tetapi tidak menyimpulkan adanya kuark. Apapun itu, menurut realisme menurut-model, kuark memang ada di dalam model yang cocok dengan pengamatan kita mengenai bagaimana partikel subinti bertindak. Realisme menurut-model dapat menyediakan sebuah kerangka kerja untuk membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: Jika dunia diciptakan beberapa waktu terhingga yang lalu, apa yang terjadi sebelumnya? Filosof Kristen awal, St. Augustine (354-430), mengatakan bahwa jawabannya bukanlah Tuhan sedang menyiapkan neraka bagi orang-orang yang bertanya demikian, tetapi bahwa waktu adalah sifat dunia yang Tuhan ciptakan dan waktu tidaklah ada sebelum penciptaan, yang dia yakin telah terjadi belum lama lalu. Ini adalah salah satu model yang mungkin, yang disukai mereka yang mempertahankan pendapat bahwa Kitab Kejadian (Genesis) tetaplah benar meskipun dunia mengandung fosil dan bukti lain yang membuatnya terlihat jauh lebih tua. (Apakah mereka menaruh di sana untuk membodohi kita?) Seseorang juga bisa mempunyai model yang berbeda, di mana waktu mulai berdetak 13,7 milyar tahun sebelum dentuman besar (big bang). Model ini menjelaskan paling baik mengenai pengamatan kita pada hari ini, meliputi bukti sejarah dan geologis, merupakan perwujudan terbaik yang kita punya mengenai masa lalu. Model kedua dapat menjelaskan fosil dan rekaman radioaktif dan fakta bahwa kita menerima cahaya dari galaksi-galaksi yang jauhnya jutaan tahun cahaya dari kita. Sehingga model ini – teori dentuman besar – lebih berguna daripada model pertama. Namun, kita tak dapat mengatakan bahwa model yang satu lebih nyata daripada model yang lain.
Beberapa orang mendukung model di mana waktu telah ada jauh sebelum dentuman besar. Masih belum jelas apakah sebuah model di mana waktu telah ada sebelum dentuman besar akan lebih baik untuk menjelaskan pengamatan pada hari ini sebab tampaknya  hukum evolusi  alam semesta berlangsung saat terjadi dentuman besar. Jika demikian maka tidak masuk akal untuk menciptakan model yang mengandung waktu sebelum dentuman besar, karena apa yang telah ada sebelum dentuman besar tidak dapat ditelusur hingga hari ini. Maka mungkin kita tetap berpegang pada gagasan bahwa dentuman besar merupakan saat penciptaan dunia. Sebuah model merupakan model yang baik jika:
  1. Anggun
  2. Mengandung sedikit unsur yang tak terduga atau berubah-ubah.
  3. Cocok dengan dan menjelaskan semua pengamatan yang ada.
  4. Membuat prediksi yang rinci mengenai pengamatan masa datang yang bisa membatalkan atau menolak model itu jika prediksi itu tak dapat dibuktikan.

Contohnya, teori Aristoteles bahwa dunia terdiri dari empat unsur: tanah, udara, api dan air dan benda-benda ini yang bertindak memenuhi tujuannya merupakan teori yang anggun dan tidak mengandung unsur-unsur yang berubah-ubah. Namun dalam banyak hal teori ini tidak membuat prediksi yang jelas, dan sekalipun prediksinya jelas, prediksi ini tidak selalu cocok dengan pengamatan. Salah satu prediksinya adalah bahwa benda-benda yang lebih berat akan jatuh lebih cepat karena tujuannya adalah jatuh. Tak seorang pun memiliki pemikiran bahwa penting untuk menguji prediksi ini hingga Galileo. Ada sebuah kisah bahwa Galileo mengujinya dengan menjatuhkan benda dari Menara miring Pisa. Kisah ini mungkin diragukan, tapi yang kita tahu pasti dia menjatuhkan berat-berat berbeda pada bidang miring dan mengamati bahwa semuanya berkecepatan sama, berlawanan dengan prediksi Aristoteles. Kriteria-kriteria di atas biasanya subyektif. Anggun misalnya, bukanlah sesuatu yang mudah diukur, tapi sangat penting bagi para ilmuwan sebab hukum alam dimaksudkan untuk memadatkan secara ekonomis sejumlah kasus-kasus khusus menjadi satu rumus yang sederhana. Anggun mengacu pada bentuk teori, namun sangat terkait dengan kurangnya unsur-unsur yang berubah-ubah, sebab sebuah teori yang dijejali banyak kebohongan tidaklah sangat anggun. Kata Einstein, sebuah teori harus sesedehana mungkin, tetapi tidak lebih sederhana. Ptolomeus menambahkan episiklus pada orbit lingkaran benda-benda langit agar modelnya mungkin menggambarkan gerakan-gerakan benda-benda itu dengan akurat. Model ini mungkin dapat dibuat lebih akurat dengan menambahkan episiklus pada episiklus, atau bahkan banyak episiklus ke banyak episiklus. Meski semakin rumitnya model dapat membuatnya lebih akurat, para ilmuwan memandang sebuah model yang harus ditekuk-tekuk agar cocok dengan serangkaian pengamatan sebagai model yang tidak memuaskan, lebih tepat disebut sebagai katalog data daripada sebuah teori yang membangun sembarang prinsip yang berguna. Akan kita lihat pada Bab 5 bahwa  banyak orang memandang “model baku”, yang menggambarkan interaksi antara partikel-partikel dasar di alam, sebagai model yang tidak anggun. Model itu jauh lebih berhasil daripada episiklus Ptolomeus. Ia meramalkan keberadaan beberapa partikel baru sebelum partikel-partikel itu diamati, dan menggambarkan hasil banyak percobaan selama beberapa dekade dengan tingkat keakuratan yang tinggi. Tetapi model ini mengandung lusinan parameter yang berubah-ubah yang nilainya harus disesuaikan untuk dicocokkan dengan pengamatan-pengamatan, bukannya ditentukan oleh teori itu sendiri. Untuk poin keempat, para ilmuwan selalu terpesona ketika prediksi yang baru dan menakjubkan terbukti tepat. Pada sisi lain, ketika sebuah model ditemukan kurang memadai, tanggapan orang pada umumnya adalah mengatakan percobaannya salah. Jika model ini belum terbukti sebagai hukum, orang sering tidak membuangnya namun berusaha menyimpannya dengan memodifikasinya. Meskipun para fisikawan memang ngotot dalam usahanya menyelamatkan teori-teori yang mereka puja, kecenderungan untuk memodifikasi teori akan sirna pada tingkat di mana teori pengganti hanyalah semu atau berbelit-belit, sehingga “tidak anggun”. Jika modifikasi yang diperlukan untuk menyesuaikan pengamatan baru menjadi terlalu rumit, ini merupakan tanda perlunya model baru. Salah satu contoh model lama yang bobol oleh pengamatan-pengamatan baru adalah gagasan alam semesta bersifat tetap. Pada tahun 1920-an, sebagian besar fisikawan meyakini bahwa alam semesta bersifat tetap atau ukurannya tidak berubah. Lalu pada tahun 1929, Edwin Hubble menerbitkan pengamatannya yang menunjukkan bahwa alam semesta mengembang. Namun Hubble tidak melihat langsung bahwa alam semesta mengembang. Dia mengamati cahaya yang dipancarkan oleh galaksi-galaksi.  Cahaya-cahaya itu membawa ciri-ciri, atau spektrum, berdasarkan tiap komposisi galaksi, yang berubah dalam jumlah tertentu jika galaksi itu bergerak relatif terhadap kita. Karena itu, dengan menganalisa spektrum dari galaksi yang jauh, Hubble dapat menentukan kecepatannya. Dia berharap menemukan galaksi-galaksi yang menjauhi kita sama banyaknya degan galaksi-galaksi yang mendekati kita. Alih-alih, hampir semua galaksi bergerak menjauhi kita. Dan makin jauh mereka, makin cepat mereka bergerak. Hubble menyimpulkan bahwa alam semesta mengembang, tapi banyak fisikawan lain tetap berpegang pada model lama, berusaha menjelaskan pengamatan mereka dalam lingkup alam semesta yang tetap. Contohnya, fisikawan Caltech Fritz Zwicky berpendapat bahwa karena suatu hal yang belum diketahui cahaya mungkin kehilangan energi ketika bergerak pada jarak yang jauh. Kehilangan energi ini bersesuaian dengan perubahan pada spektrum cahaya, yang menurut Zwicky dapat menyerupai pengamatan Hubble. Selama berdekade-dekade setelah Hubble, banyak ilmuwan tetap berpegang pada teori tetapnya alam (steady-state theory). Namun model yang paling alami adalah model Hubble, yaitu alam semesta mengembang, dan akhirnya model ini diterima. Dalam petualangan kita untuk mencari hukum yang mengatur alam semesta, kita telah merumuskan sejumlah teori atau model, misalnya teori empat-unsur, model Ptolomeus, teori phlogiston, teori dentuman besar dan sebagainya. Konsep kenyataan dan konsep unsur-unsur dasar penyusun alam semesta yang kita yakini menjadi berubah seiring tiap teori atau model. Ambillah contoh teori cahaya. Newton berpendapat bahwa cahaya terbuat dari partikel-partikel atau sel-sel darah kecil. Pandangan ini menjelaskan mengapa cahaya bergerak di sepanjang garis lurus, dan Newton juga memakai pandangan ini untuk menjelaskan mengapa cahaya dibelokkan atau dibiaskan ketika melalui satu media ke media lain, misalnya dari udara ke gelas atau dari gelas ke udara.

Namun teori sel darah sendiri tidak dapat menjelaskan fenomena yang Newton sendiri amati, yang dikenal dengan cincin Newton. Letakkan sebuah lensa pada pelat pemantul datar dan sinari lensa itu dengan cahaya satu warna, misalnya cahaya sodium. Bila dilihat dari atas, seseorang dapat melihat rangkaian cincin terang dan gelap yang berpusat pada tempat di mana lensa menyentuh permukaan. Hal ini akan sulit dijelaskan dengan teori partikel cahaya, tapi bisa dijelaskan dengan teori gelombang. Menurut teori gelombang cahaya,  cincin gelap dan terang disebabkan oleh fenomena yang disebut interferensi. Sebuah gelombang, misalnya gelombang air, terdiri dari rangkaian puncak dan lembah. Ketika gelombang-gelombang bertumbukan, jika puncak-puncak dan lembah-lembah itu bersesuaian, mereka saling menguatkan sehingga menghasilkan gelombang yang lebih besar. Ini disebut interferensi konstruktif. Pada kasus ini gelombang-gelombang dikatakan dalam kondisi “masuk fase.” Pada kondisi sebaliknya, ketika gelombang-gelombang bertemu, puncak gelombang satu mungkin bertumbukan dengan lembah gelombang lain. Pada kasus ini gelombang-gelombang saling membatalkan dan dikatakan “keluar fase.” Situasi ini disebut interferensi destruktif. Pada cincin Newton cincin terang pada posisi di mana pemisah antara lensa dan pelat pemantul terletak sedemikian hingga gelombang yang dipantulkan dari lensa berbeda dari gelombang yang dipantulkan dari pelat dengan selisih jumlah panjang-gelombang utuh (1, 2, 3,…) sehingga menciptakan interferensi konstruktif. ( panjang-gelombang adalah adalah jarak antara satu puncak atau lembah gelombang dengan puncak atau lembah berikutnya.) Sedangkan cincin-cincin gelap terletak pada posisi di mana selisih dari gelombang yang dipantulkan lensa dengan gelombang yang dipantulkan pelat berjumlah panjang-gelombang separuh (1/2 , 1 ½, 2  ½,…), menyebabkan interferensi destruktif – gelombang yang dipantulkan lensa membatalkan gelombang yang dipantulkan pelat.
Pada abad kesembilanbelas, cincin Newton digunakan untuk membuktikan teori gelombang dan menunjukkan bahwa teori partikel ternyata salah. Namun, pada awal abad keduapuluh Einstein menunjukkan bahwa efek fotolistrik (sekarang dipakai di televisi dan kamera digital) merupakan proses di mana sebuah partikel atau kuantum cahaya menabrak sebuah atom dan mengeluarkan elektron darinya. Maka cahaya bertindak baik sebagai partikel maupun gelombang. Konsep gelombang mungkin memasuki pikiran manusia saat orang-orang mengamati lautan, atau melihat genangan air setelah kerikil jatuh ke dalamnya. Kenyataannya, jika anda mungkin pernah menjatuhkan dua kerikil ke dalam genangan air, anda mungkin pernah melihat interferensi di tempat kerja, seperti gambar di atas. Cairan lain juga diamati berperilaku sama kecuali mungkin anggur bila anda minum terlalu banyak. Gagasan mengenai partikel dikenal melalui batu, kerikil dan pasir. Namun dualitas gelombang/partikel ini – gagasan bahwa benda dapat digambarkan sebagai partikel maupun gelombang – masih aneh dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana gagasan bahwa anda dapat minum sebongkah batu pasir.
Dualitas seperti ini – kondisi di mana dua teori yang amat berbeda menggambarkan dengan akurat fenomena yang sama – sesuai dengan realisme menurut-model. Tiap teori dapat menggambarkan dan menjelaskan sifat-sifat tertentu, tapi tak ada teori yang lebih baik atau lebih nyata dari lainnya. Mengacu pada hukum-hukum yang mengatur alam semesta,  yang bisa kami katakan adalah: tampaknya tidak ada model matematika atau teori tunggal yang dapat menggambarkan semua bidang alam semesta. Alih-alih, seperti disebutkan pada bab pembuka, tampaknya ada jaringan teori-teori yang disebut teori-M. Tiap teori pada jaringan teori-M bagus untuk menggambarkan fenomena dalam kisaran tertentu. Di manapun kisaran-kisaran ini beririsan, berbagai teori dalam jaringan itu sama-sama cocok, sehingga mereka semua dapat dikatakan bagian dari teori yang sama. Tapi tidak ada teori tunggal dalam jaringan yang dapat menggambarkan semua bidang alam semesta – semua gaya-gaya di alam, partikel yang merasakan gaya-gaya itu, dan kerangka kerja ruang dan waktu di mana semuanya berlaku. Meski situasi ini tidak memenuhi impian fisikawan tradisional akan teori penyatu tunggal, kondisi ini dapat diterima di dalam kerangka kerja realisme menurut-model. Kami akan membahas dualitas dan teori-M lebih jauh pada bab 5, tapi sebelumnya kami akan membahas prinsip-prinsip dasar di mana pandangan modern kami mengenai alam bersandar: teori kuantum, dan khususnya, pendekatan teori kuantum yang disebut sejarah alternatif. Dalam pandangan ini, alam semesta tidak hanya mempunyai keberadaan atau sejarah tunggal, namun mempunyai setiap kemungkinan versi keberadaan secara bersamaan dalam apa yang disebut superposisi kuantum. Mungkin ini terdengar konyol sebagaimana teori di mana meja hilang kapanpun kita keluar ruangan, namun dalam kasus ini teori ini telah lulus setiap ujian percobaan di mana teori ini sebagai subyek. Sumber: The Grand Design karya HawkingMlodinow Bacalah terjemahan bab-bab lain The Grand Design di bawah ini (klik saja): 1. The Mystery of Being 2. The Rule of Law

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun