Mohon tunggu...
Eko Hariyanto
Eko Hariyanto Mohon Tunggu... Penerjemah - Wong Suroboyo

Ayah dari 3 orang anak sholih-sholihah, suami dari istri sholihah. orang biasa yang tak lama lagi di dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Terjemahan Bab Pertama The Grand Design, The Mystery of Being

7 November 2010   03:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:47 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut teori-M, alam semesta kita bukan satu-satunya alam semesta. Alih-alih, teori-M meramalkan bahwa sangat banyak alam semesta tercipta dari ketiadaan. Penciptaan alam-alam itu tidak memerlukan campur-tangan suatu yang supranatural atau tuhan.

Setiap kita hidup walaupun hanya sebentar, dan dalam waktu sebentar itu kita menjelajah sebagian kecil alam semestaini. Namun, manusia adalah spesies yang penuh rasa ingin tahu. Kita heran, kita mencari jawaban. Hidup di alam semesta yang luas ini, di mana kebaikan dan kejahatan silih berganti, menatap langit di atas sana, orang selalu bertanya beberapa hal: Bagaimana kita memahami alam semesta ini di mana kita temukan diri kita sendiri? Bagaimana alam semesta ini berjalan? Apakah itu realitas? Dari manakah semua ini berasal? Apakah alam semesta ini butuh suatu pencipta? Sebagian besar dari kita tidak memusingkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan ini, namun hampir semua menguatirkan hal-hal ini kadang-kadang.

Dulunya pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk filsafat, namun filsafat sudah mati. Filsafat jauh tertinggal dengan kemajuan ilmu modern, khususnya fisika. Ilmuwan menjadi pembawa obor penemuan dalam hasrat kita akan pengetahuan. Tujuan buku ini adalah memberi jawaban atas hal-hal yang diungkap oleh penemuan-penemuan terkini dan kemajuan teori. Jawaban itu mengarahkan kita kepada gambar alam semesta yang baru dan tempat kita di dalamnya yang amat berbeda dari gambar yang dulu, bahkan berbeda dengan gambar yang kita lukis satu atau dua dekade lalu. Namun, goresan pertama dari konsep baru ini dapat ditelusur ke belakang seratus tahun lalu.

Menurut konsepsi alam semesta yang lama, benda bergerak pada jalur yang sangat tertentu dan mempunyai riwayat tertentu. Kita dapat menentukan posisi pastinya setiap saat. Meskipun hitungan ini cukup berhasil pada kehidupan sehari-hari, ternyata pada tahun 1920-an ditemukan bahwa konsep “klasik” ini tidak berlaku untuk perilaku aneh yang diamati pada kejadian skala atom dan subatom. Alih-alih, kejadian ini perlu memakai kerangka kerja yang lain yang disebut fisika kuantum. Teori kuantum secara luar biasa berhasil memprediksi secara akurat kejadian-kejadian pada skala di atas, sekaligus mereproduksi prediksi teori klasik ketika diterapkan pada skala makroskopis pada kejadian sehari-hari. Namun, fisika klasik dan kuantum berdasarkan pada konsepsi realitas fisik yang sangat berbeda.

Teori Kuantum dapat diformulasikan dengan banyak cara, namun cara yang mungkin paling intuitif diberikan oleh Richard (Dick) Feynman, seorang yang penuh warna yang bekerja di Institut Teknologi California dan bermain drum bongo di pinggir jalan. Menurut Feynman, suatu sistem tidak hanya memiliki satu riwayat, tetapi setiap riwayat yang mungkin. Sementara kita mencari jawaban, kami akan menjelaskan pendekatan Feynman secara rinci, dan memakainya untuk menjelajahi ide bahwa alam semesta sendiri tidak mempunyai riwayat tunggal, bahkan keberadaannya tidaklah mandiri. Kelihatannya ide ini amat radikal, bahkan bagi banyak fisikawan. Memang, seperti banyak gagasan pada sains hari ini, ide ini seperti melanggar akal sehat. Namun akal sehat bergantung pada pengalaman sehari-hari, tidak bergantung pada alam semesta yang kita ungkap lewat keajaiban teknologi sehingga kita dapat menatap jauh ke dalam atom atau kembali ke awal alam semesta.

Pada saat-saat awal fisika modern, umumnya orang menduga bahwa semua pengetahuan di dunia dapatdihasilkan melalui pengamatan langsung, sesuatu adalah bagaimana sesuatu itu terlihat, yang sampai pada kita melalui indra. Namun keberhasilan luar biasa dari fisika modern, yang bersandar pada konsep semacam konsep Feynman yang berbenturan dengan pengalaman sehari-hari, membuktikan bahwa bukan demikian halnya. Karena itu pandangan lugu atas realitas tidaklah cocok dengan fisika modern. Untuk menangani paradoks-paradoks ini kita akan memakai pendekatan yang kami sebut realisme-menurut-model (model-dependent realism). Pendekatan ini berdasarkan gagasan bahwa otak kita menafsirkan input dari indra dengan membuat sebuah model dunia ini. Ketika model demikian berhasil untuk menjelaskan suatu kejadian, kita cenderung menganggapnya, dan juga elemen-elemen dan konsep yang membentuknya, sebagai realitas yang bermutu atau kebenaran mutlak. Namun mungkin ada banyak cara di mana seorang dapat memodelkan suatu keadaan, di mana tiap orang memakai konsep dan elemen dasar yang berbeda-beda. Jika dua teori fisika atau model dapat memprediksi dengan akurat kejadian yang sama, model ini tak dapat dikatakan lebih nyata dari model yang lain. Namun, kita dapat memakai model mana pun yang paling nyaman.

Dalam sejarah ilmu, kita telah menemukan tahapan teori atau model yang lebih dan lebih baik, dari Plato menuju teori klasik Newton menuju teori kuantum modern. Wajar bila kita bertanya: apakah tahapan ini akan berujung pada teori pamungkas mengenai alam semesta, yang meliputi semua gaya dan memprediksi semua pengamatan yang kita buat, atau kita akan terus-menerus menemukan teori-teori yang lebih baik, tapi tak pernah menemukan satu teori yang tak dapat diperbaiki lagi? Kami belum punya jawaban pasti atas pertanyaan ini, namun sekarang kami punya calon untuk teori pamungkas mengenai segalanya, jika memang teori itu ada, yang disebut teori-M. Teori-M adalah model satu-satunya yang mempunyai ciri-ciri di mana kami kira teori pamungkas harus memilikinya. Dan teori-M adalah dasar dari banyak bahasan-bahasan kita selanjutnya.

Teori-M bukanlah teori pada umumnya. Ini merupakan keluarga teori-teori yang berbeda, masing-masing merupakan gambaran pengamatan yang baik hanya pada sebagian keadaan fisik. Mirip peta. Sudah lazim diketahui, seseorang tak dapat menunjukkan seluruh permukaan bumi hanya pada satu peta. Proyeksi Mercator yang dipakai untuk peta dunia memperbesar bagian utara dan selatan namun tidak meliputi Kutub Utara dan Selatan. Untuk memetakan seluruh bumi dengan tepat, seseorang harus memakai kumpulan peta, setiap peta meliputi area tertentu. Peta-peta itu saling beririsan, dan saat beririsan, mereka menunjukkan bentangan yang sama. Teori-M serupa. Teori-teori berbeda dalam keluarga teori-M mungkin terlihat sangat berbeda, namun mereka semua dapat dianggap bagian dari teori mendasar yang sama. Ada versi yang berlaku hanya dalam kisaran tertentu – misalnya, ketika energi tertentu jumlahnya sedikit. Serupa dengan peta-peta beririsan pada proyeksi Mercator, di mana kisaran beberapa versi saling beririsan, versi-versi itu memprediksi fenomena yang sama. Namun karena tak ada peta datar yang mewakili seluruh permukaan bumi, tak ada teori tunggal yang dapat mewakili gambaran pengamatan yang baik pada segala situasi.

Kami akan jelaskan bagaimana teori-M menawarkan jawaban atas pertanyaan mengenai penciptaan. Menurut teori-M, alam semesta kita bukan satu-satunya alam semesta. Alih-alih, teori-M meramalkan bahwa sangat banyak alam semesta tercipta dari ketiadaan. Penciptaan alam-alam itu tidak memerlukan campur-tangan suatu yang supranatural atau tuhan. Namun, berbagai alam-alam ini timbul secara alami dari hukum fisika. Semua alam itu adalah prediksi ilmiah. Tiap alam semesta mempunyai banyak kemungkinan riwayat dan banyak kemungkinan status pada masa mendatang, misalnya sekarang, jauh sejak penciptannya. Sebagian besar status ini cukup berbeda dengan alam semesta yang kita amati dan cukup tidak cocok untuk keberadaan sembarang bentuk kehidupan. Hanya sedikit yang cocok untuk makhluk seperti kita untuk berada. Maka kehadiran kita hanya memilih alam semesta yang cocok dengan keberadaan kita. Meskipun kita ini mungil dan tidak berarti pada skala kosmos, kehadiran kita membuat kita menjadi tuan-tuan penciptaan.

Untuk memahami alam semesta pada tingkat terdalam, kita perlu mengetahui tidak hanya bagaimana ala semesta berjalan, tetapi mengapa.

Mengapa ada sesuatu daripada tak ada sesuatu pun?

Mengapa kita ada?

Mengapa ada seperangkat aturan ini dan bukan yang lain?

Ini semua merupakan Pertanyaan Pamungkas Kehidupan, Alam Semesta dan Segalanya. Kami akan berusaha menjawabnya di buku ini. Tidak seperti jawaban pada The Hitchhike’s Guide to the Galaxy, jawaban kami tidak sekedar “42”.

Sumber: The Grand Design karya Stephen Hawking & Leonard Mlodinow

Ingin melihat terjemahan lainnya ? Kunjungi ekoh4riyanto.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun